NIAT DALAM MENCARI ILMU
Pengantar
Ketika peserta didik menuntut ilmu semestinya memperhatikan beberapa hal yang perlu disadari dan disemayamkan dalam dirinya, diantaranya adalah harus memiliki niat yang bagus dan lurus serta ikhlas di dalam hatinya. Niat yang disematkan dalam hati semata-mata menuntut ilmu karena Allah ta’ala. Selain itu seorang peserta didik juga harus mempunyai motivasi yang kuat terutama motivasi yang bersifat intrensik yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, meskipun tidak menutup kemungkinan dukungan motivasi yang bersifat ekstrensik dari luar dirinya dalam usahanya menuntut ilmu yang bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Melalui motivasi yang kuat dengan mengharap ridho Allah niscaya akan membawa kemudahan ketika dalam proses pembelajaran, memeperoleh keberkahan ketika tercapai tujuan. Dalam artikel ini akan dibahas tentang korelasi niat dengan motivasi belajar. Hal ini beranjak dari asumsi bahwa ketika seorang memiliki niat yang kuat dalam meraih sesuatu, maka kecenderungannya dari orang tersebut ialah akan berupaya kuat untuk meraihnya. Demikian juga dalam proses belajar bagi seorang siswa, maka apabila telah memiliki niat yang kuat tentunya akan diiringi dengan daya upaya serta usaha untuk melaksanakan niatnya. Niat bisa berupa motivasi yang mendorong siswa untuk mau belajar. Terdapat dua jenis motivasi, yaitu motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik yakni keadaan pada diri sendiri yang mendorongnya melakukan belajar sedangkan motivasi ekstrinsik yakni, faktor luar diri yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar.
Pengertian Niat
Niat berasal dari bahasa arab yaitu an niyat yang merupakan bentuk jamak dari niyah. Secara etimologi niat berarti al qoshdu yang bermakna maksud. Niat juga berarti al „azm yaitu keinginan yang kuat . An-Nawawi berkata, “Niat adalah al qoshdu yaitu „azimatul qolbi (berkeinginan dengan hati dan “nawaka Allahu bi khairin”(Allah SWT bermaksud memberimu kebajikan). Akan tetapi yang dimaksud dengan „azm dalam konteks ini mempunyai pengertian sebagai sebuah keinginan yang lebih kuat dari sekedar maksud.
Niat menurut
kebiasaan orang Arab ketika menggunakan kata niat itu mempunyai arti menuju (al
qoshdu), pernah ditemukan bahwa mereka sedang berkata, “nawa asy-syai‟a”
(seseorang telah menuju ke sesuatu), mereka memberi maksud dari kata an niyat
adalah sesuatu yang dijadikan tujuan, atau niat adalah suatu tujuan seseorang
mengarah ke tempat tersebut, terkadang niat juga dapat diartikan sebagai
sesuatu yang mengiringi tujuan atau jatuhnya niat itu dapat mendahului suatu
tindakan.
Sebagian riwayat
menggunakan lafaz لنية dalam bentuk mufrad (tunggal) dengan
alasan, bahwa tempat niat adalah dalam hati, sedangkan hati itu satu, maka kata
niyat disebutkan dalam bentuk tunggal. Berbeda dengan perbuatan yang sangat
tergantung kepada hal-hal yang bersifat lahiriah yang jumlahnya sangat banyak
dan beragam, sehingga dalam hadis tersebut kata 'amal menggunakan lafaz jama'
(plural) yaitu اعمال ان itu niat hanya akan kembali kepada Dzat Yang Esa, dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Sebagai kelanjutan dan ikrar dari niat.
Lafaz : إنما الأعمال بالنية وإنما لكل إمرا ما نوى (hadist riwayat Bukhari Muslim) mengandung arti hashr (pembatasan) menurut para muhaqqiq (peneliti). Setiap perbuatan pasti membutuhkan pelaku, maka kalimat secara lengkap adalah perbuatan yang berasal dari orang-orang mukallaf (orang yang dikenai beban syariat). Dengan demikian apakah perbuatan orang kafir termasuk dalam kategori ini? Jawabnya, tidak termasuk, karena maksud perbuatan dalam hadis ini adalah ibadah, sehingga orang kafir tidak termasuk dalam hadis ini, meskipun mereka diperintahkan untuk melaksanakan dan akan mendapat hukuman apabila meninggalkannya.
Kata (dengan
niat). Huruf ba' menunjukkan arti mushahabah (menyertai), dan ada juga yang
mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Imam Nawawi mengatakan, bahwa niat
berarti maksud, yaitu keinginan yang ada dalam hati. Tetapi Syaikh Al-Karmani
menambahkan, bahwa keinginan hati adalah melebihi maksud. Alqashd atau maksud
adalah bagian dari suatu kehendak atau al-iradah yang kekuatannya bisa mencapai
kekeinginan kuat, sedangkan kehendak itu tidak akan sampai pada keinginan
ketika tidak ada suatu kepastian dalam berkehendak, namun keinginan dapat
berubah-ubah terkadang kuat terkadang lemah, adapun maksud itu dapat terwujud
ketika adanya kehendak yang bersifat pasti adalah yang beriringan atau
bersamaan dengan suatu tindakan.
Asal kata ilmu adalah dari bahasa Arab,
‘alama. Arti dari kata ini adalah pengetahuan. Dalam bahasa Indo-nesia, ilmu
sering disamakan dengan sains yang berasal dari bahasa Inggris “science”. Kata
“science” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu “scio”, “scire” yang
artinya pengetahuan. “Science”dari bahasa Latin “scientia”, yang berarti
“pengetahuan” adalah aktivitas yang sistematis yang membangun dan mengatur
penge-tahuan dalam bentuk penjelasan dan prediksi tentang alam semesta.
Berdasarkan Oxford Dictionary, ilmu didefinisikan sebagai aktivitas intelektual
dan praktis yang meliputi studi sistematis tentang struktur dan perilaku dari
dunia fisik dan alam melalui pengamatan dan percobaan”.
Adapun
beberapa definisi ilmu menurut para ahli ( Bakhtiar : 2005 ) diantaranya
adalah: a) Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama
tabiatnya, maupun itu menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut
bangunannya dari dalam. b) Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu
adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak. c)
Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif
dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. d) Ashley
Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu
sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan
hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
Hakikat Niat Dalam Mencari Ilmu
Ilmu menempati
posisi yang sangat penting dalam agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan firman
Allah Swt. yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu
perintah membaca. Membaca sendiri merupakan gerbang awal bagi ilmu. Ilmu inilah
yang nantinya akan menjadi bekal bagi manusia untuk mengarungi kehidupannya,
baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam agama Islam, menuntut ilmu dikategorikan sebagai ibadah yang sangat penting. Karena dengan ilmulah agama Islam bisa terjaga. Ada sekian dalil yang bisa menunjukkan hal tersebut, di antaranya surat At-Taubah ayat 122 sebagai berikut:
Artinya: “Dan
tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Alangkah baiknya bila ada sebagian golongan di antara mereka yang pergi untuk
memperdalam agama, kemudian mengajar kaumnya apabila mereka telah kembali,
supaya masing-masing dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Dari penafsiran
di atas, kita bisa memahami, bahwa mencari ilmu adalah suatu ibadah yang
menempati posisi penting di dalam agama Islam. Ia bahkan setara dengan jihad fî
sabîlillâh. Dan yang perlu digarisbawahi, mencari ilmu agama tidak boleh
dilakukan dengan hanya niat-niat duniawi saja, seperti hanya untuk mendapatkan
ijazah, mendapatkan pekerjaan bagus, mencari uang, mendapatkan gelar dan
sejenisnya. Hal-hal semacam ini mungkin ada baiknya jika dimaknai sebagai
rezeki yang mengikuti ahl al-‘ilm, bukan menjadi tujuan utama (ghâyah) mencari
ilmu. Sebab, mempelajari suatu ilmu, khususnya ilmu agama, harus didasari oleh
niat untuk mencari rida MahallyPMH Allah Swt. dan melaksanakan kewajiban
mencari ilmu. Terkait hal ini, Nabi Muhammad Saw. telah memberikan rambu-rambu,
sejauh mana niat itu dianggap patut dan layak untuk memotivasi seseorang dalam
menuntut ilmu. Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya :
“Barang siapa mempelajari
suatu ilmu yang seharusnya dipelajari untuk memperoleh rida Allah Swt., (akan
tetapi) dia tidak mencari ilmu tersebut kecuali hanya untuk memperoleh harta
duniawi, maka dia tidak akan bisa mendapati aroma surga.”
Dari hadis
tersebut, bisa diambil sebuah pemahaman, bahwa mencari ilmu, khususnya ilmu
agama, seharusnya hanya ditujukan untuk mencari rida Allah Swt. semata. Tidak
boleh dilakukan hanya untuk mendapatkan hal-hal duniawi saja. Meskipun, ya,
apabila terdapat motivasi-motivasi duniawi yang muncul setelah seseorang
berniat belajar untuk mencari rida Allah Swt., hal itu tetap dianggap tidak
masalah, selama tujuan utamanya masih untuk memperoleh rida Allah Swt.. Selama
tujuannya bukan duniawi saja.
Poin penting
yang dapat kita pelajari dari hadis di atas adalah ketika dalam kondisi
belajar, seseorang tidak boleh memiliki niat hanya untuk mencari/memperoleh
sesuatu yang bersifat duniawi saja, kemudian mencukupkan niatnya hanya pada hal
tersebut. Sebab pada hakikatnya, selain menjadi motivasi, niat juga menjadi
pengendali dalam diri seseorang. Ia akan mempengaruhi langkahnya, baik sebelum
maupun sesudah ilmu tersebut diperoleh. Jika sedari awal niat belajarnya hanya
untuk memperoleh hal-hal duniawi saja, bahkan ketika ia tengah mempelajari ilmu
agama, lantas bagaimana ketika ia telah menguasainya kelak?
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas yang mendeskripsikan tentang niat menurut hadis dan implikasinya terhadap proses pembelajaran dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama niat dan motivasi secara bersamaan dapat berdampak dalam mencari ilmu, sehingga, tinggi rendahnya hasil belajar siswa ditentukan oleh tinggi rendahnya motivasi belajar dan niat. Peserta didik yang memiliki motivasi belajar yang tinggi, berlandaskan kepada niat dan dorongan untuk belajar semata-mata untuk memenuhi tuntunan agama berpotensi untuk lebih berhasil karena segala upayanya disertai oleh ridha dari Allah. Kedua apapun yang dikerjakan tergatung pada niatnya, dan semua konsekuensi yang didapat merupakan buah dari niat awal. Ketiga menunjukkan pentingnya niat dalam segala amal yag dilakukan agar bernilai pahala.
Daftar Pustaka
Almahfuz,
Ilyas Husti, Alfiah, ‘Hadis Tentang Niat
Dan Korelasinya Terhadap Motivasi Bagi Peserta Didik’, INSPIRASI Jurnal
Studi Islam Kawasan Melayu, (2020)
Daud,
Wan Mohd Nor Wan, (2003). Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, Bandung: Mizan.
Ibnu
Hajar al-Asqalani, ‘Fathul Baari Syarah
Shahih Bukhari (Gazirah Abdi Ummah Terj.)’, Jakarta: Pustaka Azam, 2002, p.
18.
Kartanegara,
Mulyadhi, (2002). Menembus Batas Waktu:
Panaroma Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
Purwanto,
“Motivasi Belajar Dalam Pendidikan
Islam,” h. 222-224.
Rosidi,
Ayep, ‘Niat Menurut Hadis Dan
Implikasinya Terhadap Proses Pembelajaran’, INSPIRASI: Jurnal Kajian Dan
Penelitian Pendidikan Islam,(2017), 39–50
Sulaiman,
Umar, ‘Fiqih Niat’, Jakarta: Gema
Insani, 2006
Zainal.
Muh, Abidin,( 2011) Konsep Ilmu Dalam
Islam: Tinjauan Terhadap Makna, Hakikat, Dan Sumber-Sumber Ilmu Dalam
Islam, Banjarmasin.
Posting Komentar untuk "NIAT DALAM MENCARI ILMU"