Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cara Memilih Ilmu, Guru dan Teman

Cara Memilih Ilmu

Dalam mencari ilmu, seseorang seharusnya memilih ilmu pengetahuan yang paling baik atau paling cocok dengan dirinya. Pertama-tama yang perlu dipelajari oleh seseorang adalah ilmu yang paling baik, dan yang diperlukannya dalam urusan agama pada saat itu. Kemudian baru ilmu-ilmu yang diperlukannya pada masa yang akan datang.

Ilmu tauhid harus didahulukan, supaya santri mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena imannya orang yang taklid (hanya mengikuti saja) tanpa mengetahui dalilnya.

Sekalipun sah, tetapi ia berdosa karena meninggalkan istidlal (mencari dalil petunjuk). Seseorang yang mencari ilmu, harus mempelajari ilmunya para ulama salaf (baca: ilmu agama). Para ulama berkata, tetaplah kalian pada ilmunya para nabi (ilmu agama). Dan  apabila umat Muhammad sudah suka berbantah-bantahan di antara mereka, itulah tanda akan datangnya hari kiamat. Tanda bahwa ilmu fiqih semakin menghilang. Demikian menurut hadis Nabi.

Adapun cara memilih guru atau kiai carilah yang alim, yang bersifat wara’, dan yang lebih tua. Sebagaimana Abu Hanifah memilih Syekh Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau (Hammad) mempunyai kriteria atau sifat-sifat tersebut. Maka Abu Hanifah mengaji ilmu kepadanya.

Abu Hanifah berkata,

قال ابو حنيفة رحمه لله تعالى وَجَدْتُهُ شَيْخًا وَقُوْرًا حَلِيْمًا صَبُوْرًا وقال ثَبَتُّ عِنْدَ حَمَّاد بنِ سُلَيْمَان فَنَبَتُّ

“Beliau adalah seorang guru berakhlak mulia, penyantun, dan penyabar. Aku bertahan mengaji kepadanya hingga aku seperti sekarang itu.”

Abu Hanifah berkata pula, “Aku pernah mendengar seorang ahli hikmah dari negeri Samarkan berkata, ‘Ada salah seorang penuntut ilmu bermusyawarah denganku ketika hendak pergi ke Bukhara untuk menuntut ilmu,’.”

Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarah atau minta nasihat kepada orang alim, merupakan hal yang penting dan suatu keharusan.

Demikianlah hendaknya setiap pelajar seharusnya bermusyawarah dengan orang alim, ketika akan pergi menuntut ilmu atau dalam segala urusan. Karena Allah Ta’ala menyuruh Nabi Muhammad SAW supaya bermusyawarah dalam segala urusan, padahal tiada seorang pun yang lebih pandai dari Beliau. Dalam segala urusan, beliau selalu bermusyawarah dengan para sahabat, bahkan dalam urusan rumah tangga pun, beliau selalu bermusyawarah dengan istrinya. Sayidina Ali berkata, “Tak akan binasa orang yang mau berunding.

Ketahuilah pula, bahwa kesabaran dan ketabahan atau ketekunan adalah pokok dari segala urusan. Tapi jarang sekali orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut, dalam sebuah syair disebutkan:

لِكُلٍّ اِلَى شَأْوِالْعُلَى حَرَكَاتُ * وَلَكِنْ عَزِيْزٌ فِيْ الرِّجَالِ ثَبَاتُ

“Setiap orang pasti mempunyai hasrat memperoleh kedudukan atau martabat yang mulia, namun jarang sekali orang yang mempunyai sifat sabar, tabah, tekun, dan ulet.” Seorang penuntut ilmu harus benar-benar mencermati ilmu yang akan dipelajarinya, baru kemudian memilih ilmu yang paling baik atau paling cocok dengan dirinya, baik ilmu yang dibutuhkan saat itu maupun ilmu yang dibutuhkan untuk masa yang akan datang. Menurut kitab Ta’limul Muta’allim, ilmu yang paling utama harus dipelajari adalah ilmu tauhid, karena dengan ilmu tauhid kita dapat mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Meskipun orang yang imannya taklid dianggap sah oleh ulama terdahulu, tapi perbuatan tersebut tetap berdosa karena hal itu menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mau mencari dalil untuk menguatkan imannya. Oleh karena itu mempelajari ilmu tauhid diutamakan.(Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, M.A. (Bandung: PIMPIN, cet. II 2011). Dianjurkan pula bagi seorang penuntut ilmu untuk memilih mencari ilmu-ilmu kuno daripada ilmu-ilmu baru. Seperti yang dikatakan oleh para ulama :

عَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ وَاِيَّاكُمْ بِالمُحْدَثَاتِ

 ” Berpeganglah pada ilmu yang kuno atau dahulu dan takutlah kalian pada ilmu yang baru”.(Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010).

Ilmu-ilmu kuno dalam hal ini adalah ilmu agama yang berasal dari Rasulullah, sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu akhlak. Sedangkan ilmu-ilmu baru adalah ilmu yang dikembangkan oleh ilmuwan jaman dulu yang tidak ada kaitannya dengan ilmu agama seperti ilmu manthiq, ilmu hikmah, ilmu khilaf. Menurut sabda Rasulullah SAW, dalam menuntut ilmu kita perlu mewaspadai dan menghindari debat atau pertentangan, karena dengan debat akan menjauhkan orang yang mencari ilmu dari kepahaman, menyia-nyiakan umur, mendatangkan keresahan atau kegundahan, dan permusuhan dari keduanya. Adapun debat adalah salah satu tanda dari hari kiamat, hilangnya ilmu, kepahaman, pengetahuan-pengetahuan yang baru. 

Syarat-syarat ilmu yang dipilih Salah satu tema penting yang dibahas oleh para ulama salaf terkait dengan sukses belajar adalah pemilihan ilmu dan guru. Seseorang harus memastikan memilih ilmu dan guru sesuai dengan nilai-nilai pendidikan Islam yang diwarisi para ulama dari Rasulullah saw. Berikut ini adalah tips memilih ilmu dan guru yang disimpulkan dari kitab Ta’limul Muta’allim karya Syeikh Burhanuddin AzZarnuji. Dalam hal memilih ilmu, hendaknya didahulukan ilmu yang hukum mempelejarinya Fardu Ain. Ilmu ini disebut oleh para ulama sebagai ilmu hal, yaitu yang dibutuhkan dalam setiap hal (situasi dan kondisi). Ilmu tentang keimanan kepada Allah swt, ilmu tentang cara ibadah kepada Allah swt dan ilmu tentang hati adalah kelompok ilmu yang dibutuhkan setiap saat. Itulah Ilmu Fardlu ‘Ain. Ketiga ilmu tersebut itulah yang dikenal dengan Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih dan Ilmu Akhlak atau Ilmu Qalbu. Ilmu-ilmu inilah yang harus didahulukan di atas ilmu-ilmu lainnya. lmu Fardlu Ain inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi.(Abu Bakar Jabir Al-Zairi (2014), Minhajul Muslim, Jakarta :PustakaArafah).

Adapaun ilmu yang dibutuhkan di masa yang akan datang atau hanya dibutuhkan pada waktu tertentu maka hukum mempelajarinya adalah Fardu Kifayah. Ilmu ini dipelajari atau diajarkan setelah ilmu fardlu dikuasai dengan baik. Termasuk kelompok ilmu fardlu kifayah adalah ilmu yang dibutuhkan untuk kebaikan urusan dunia dan agama masyarakat, seperti keahlian dalam bidang tertentu yang menjadi penentu kelancaran dan kemaslahatan masyarakat. Ilmu berikutnya yang harus diutamakan untuk dipelajari adalah ilmu-ilmu klasik. Ulama menyebutnya Ilmu ‘Atiq, yaitu ilmu yang memiliki keaslian (orisinalitas) dan kejelasan sandaran (sanad) kepada para ulama salaf dari kalangan tabi’in dan sahabat dari Rasulullah saw. Ilmu inilah yang dalam dunia pesantren dikenal dengan ilmu kitab kuning. Bukan ilmu-ilmu baru (Ilmu Muhdats) yang menyalahi tradisi keilmuan para ulama salaf. Di antara ilmu yang harus dihindari adalah ilmu debat.

Dalam pendidikan Islam, debat dinilai sangat tercela. Berdebat hanya akan menghabiskan waktu dan menimbulkan permusuhan. Debat dengan orang bodoh akan menyia-nyiakan waktu. Debat dengan orang berilmu (ulama) akan menyinggung perasaannya. Hindari debat, sejauh-jauhnya.(Aufa noor siddiq, Pedoman belajar untuk pelajar dan santri).

Cara Memilih Guru

Dalam memilih guru, ada tiga kriteria utama yang harus dijadikan panduan, yaitu aspek keilmuan, aspek ubudiyah dan akhlak, dan aspek umur. Idealnya, pilih guru yang paling luas ilmunya, paling bersih ibadah dan akhlaknya, dan paling tua umurnya. Imam Abu Hanifah misalnya, memilih gurunya adalah Imam Hammad bin Sulaiman karena beliau guru yang tertua, berpengalaman, rajin, teliti, penyabar, cerdik, bijaksana, dan suka bermusyawarah. Musyawarah menjadi akhlak tersendiri yang penting dimiliki oleh guru juga pelajar. Tentang bermusyawarah Imam Ja’far Shadek berkata pada Shekh Sufyan ast tsuri : “Bermusyawarohlah anda bersama orang-orang yang bertaqwa kepada Allah swt.” Rasullulah saw suka bermusyawarah dan memerintahkan untuk selalu bermusyawaroh dalam segala urusan, padahal dalam kenyataan tidak ada yang lebih cerdas, cerdik, dan istimewa dari pada Rasullulah saw, tapi beliau tetap suka bermusyawarah. contoh dalam urusan politik, peperangan, ekonomi, dan keluarga. Demikian Rasulullah memerintahkan dan mencontohkan bagaimana musyawarah dilakukan. Dalam hal memilih ilmu dan guru, musyawarah ini pun menjadi metode tersendiri dalam menentukan pilihan. Bermusyawarahlah dengan para ulama untuk menentukan mempelajari apa dan berguru kepada siapa.(Al zaunuji syekh, Talim Mutalim ( Surabaya : Al-Hidayah)

 وَقَالَ اَبُوْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالٰى وَجَدْتُهُ شَيْخًاوَقُوْرًا حَلِيْمًا صَبُوْرًا. وَقَالَ : ثَبَتُّ عِنْدَ حَمًادِبْنِ أَبِى سُلَيْمَانَ فَنَبَتُّ

Abu Hanifah berkata : “beliau adalah seorang guru berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan mengaji kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.(Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Depok: Gema Insani Press, 2013)

Begitulah kurang-lebih perkataan Abu Hanifah tentang gurunya setelah memikirkan dengan matang sebelum menjatuhkan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman sebagai gurunya. Berdasarkan cerita Abu Hanifah tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa, dalam  memilih guru bagi seorang penuntut ilmu juga perlu diperhatikan, seperti yang dikatakan Abu Hanifah, guru tersebut haruslah berakhlak mulia, penyabar dan bijaksana. Akan lebih baik kita memilih guru yang sudah berumur atau sudah tua, sifatnya yang waro’ dan ‘alim.

Perintah Untuk bermusyawarah dalam setiap perkara (urusan)

مَا هَلَكَ اُمْرَؤٌ عَنْ مَشُوْرَةٍ

“ Tidak akan rusak orang yang bermusyawarah!” ucap Ali bin Abi Thalib r.a dengan tegas.

Dikatakan bahwa manusia itu ada tiga macam: 1) Somebody ( Orang yang benar – benar sempurna ). 2) Half-Body ( Orang yang setengah sempurna ). 3) Nobody ( Orang yang tidak sempurna sama sekali ). (Ibrahim syekh bin ismail, Syarh Talim Mutalim) Adapun orang yang benar – benar sempurna adalah orang yang pendapat – pendapatnya selalu benar dan mau bermusyawarah. Orang yang setengah sempurna adalah orang yang pendapatnya benar tapi tidak mau bermusyawarah. Dan orang yang tidak sempurna sama sekali adalah orang yang pendapatnya salah dan tidak mau bermusyawarah. Imam Ja’afar Shiddik berkata kepada Sufyan Tsauri, “Musyawarahkan urusanmu kepada orang yang takut akan Allah.” Imam Abu Hanifah juga pernah menceritakan tentang seorang ahli hikmah yang masih dimintai pendapatnya oleh seseorang yang akan belajar ke Bukhara. Bagi seorang pelajar memang dianjurkan senang bermusyawarah dengan orang yang lebih pintar darinya agar tidak tersesat. Rasulullah SAW sekalipun tetap diperintahkan bermusyawarah oleh Allah SWT dalam segala hal bahkan hingga hal-hal yang menyangkut rumah tangga. Hal itu dikarenakan, mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur dan perkara yang sulit, maka bermusyawarah atau meminta nasihat kepada orang alim itu penting, dan suatu keharusan.

Menurut para Ulama orang terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Rajul, Nishfu Rajul, dan La Syai’a. Rajul adalah orang yang memiliki pemikiran dan pendapat dan mau bermusyawarah. Nisfu Rajul, adalah orang yang memiliki pemikiran dan pendapat tetapi tidak mau bermusyarah. Dan La Sya’a adalah orang yang tidak punya pendapat dan tidak mau bermusyarah.  Musyawarah bisa menjadi jalan bagi santri untuk mendapatkan ilmu dan guru seperti yang dianjurkan para ulama. Itulah karenanya musyawarah menjadi sangat penting. Musyawarah juga melatih sikap siap menerima pendapat orang lain dan berbagi ilmu dan pemikiran. Musyawarah adalah ajaran Al-Qur’an dan sunah Rasullulah.

Allah swt berfirman : Artinya : Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009)

Kesabaran dan Ketabahan Menuntut Ilmu

Kesabaran dan ketabahan atau ketekunan adalah pokok dari segala urusan. Tapi jarang sekali orang yang mempunyai sifat – sifat tersebut, sebagaimana kata dalam sebuah syair:

 لِكُلٍّ اِلٰى شَأْوِالْعُلَى حَرَكَاتُ ٭ وَلٰكِنْ عَزِيْزٌ فِى الرِّجَالِ ثَبَا تُ

Setiap orang pasti mempunyai hasrat memperoleh kedudukan atau martabat yang mulia * Namun jarang sekali orang yang mempunyai sifat sabar, tabah, tekun dan ulet.(Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: CAPS, 2013).

Ada juga yang berkata bahwa keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu, seorang pelajar harus berani bertahan dan bersabar dalam menuntut ilmu duniawi khususnya akhirwi yang harus bersabar dalam mengaji dan dalam membaca sebuah kitab. Tidak meninggalkannya sebelum tamat atau selesai. Tidak berpindah – pindah dari satu guru ke guru yang lain, dari satu ilmu ke ilmu yang lain. Padahal ilmu yang dia pelajari belum dikuasai, dan tidak pindah- pindah dari satu daerah ke daerah yang lain, supaya waktunya tidak terbuang sia – sia. Sebaiknya pula, pelajar selalu memegangi kesabaran hatinya dalam mengekang kehendak hawa nafsunya. Seorang penyair berkata : “Sungguh hawa bafsu itu rendah nilainya, barang siapa terkalahkan oleh hawa nafsunya bearti dia terkalahkan oleh kehinaannya.” Seorang pelajar mestinya harus tabah dalam menghadapi ujian dan cobaan. Sebab ada yang mengatakan bahwa gudang ilmu itu selalu diliputi dengan cobaan dan ujian. Ali bin Abi Thalib berkata : “Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan hal enam perkara, yaitu befikir, semangat, sabar, memiliki bekal, petunjuk atau bimbingan guru dan waktu yang lama ataupun menetap.”

Cara Memilih Teman

 

عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلُ وَاَبْصِرْ قَرِيْنَهُ ٭ فَاِنَّالْقَرِيْنَ بِالْمُقَارِنِ يَقْتَدِىْ

فَاِنْ كَانَ ذَاشَرٍّفَجَنِّبْهُ سُرْعَةً ٭ وَاِنْ كَانَ ذَا خَيْرٍ فَقَارٍنْهُ تَهْتَدِىْ

Jangan bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena orang itu biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk.”

Dari syi’ir diatas kita bisa mengetahui bagaimana cara memilih teman, yaitu teman dengan kepribadian yang baik (tekun belajar, bersifat wara’ dan berwatak Istiqamah, dan orang – orang yang suka memahami ayat – ayat Al – Quran dan hadist Nabi ), karena dengan begitu kita akan terpengaruh sikap baiknya, begitu pula sebaliknya jika kita berteman dengan orang yang berkepribadian buruk kita juga bisa terpengaruh sikap buruknya (malas, banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah ).

Seperti yang pernah disabdakan Rasulullah SAW:

 كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلٰى فِطْرَةِ الْاِسْلَامِ اِلَّا اَنَّ اَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهٖ وَيُمَجِّسَانِهٖ

“ Setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah ( Suci ). Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.”

Kata “ orangtua “ dalam hal ini dapat kita artikan dengan orang-orang terdekat kita seperti saudara dan teman. Berikut ada kata – kata hikmah berbahasa persi yang artinya: “Teman yang jahat itu lebih bahayanya daripada ular berbisa. Karena teman yang jahat itu akan menjerumuskan Anda kedalam neraka Jahim. Oleh karena itu, bertemanlah dengan orang – orang yang baik, karena ia dapat menyebabkan Anda masuk surga.”

Kesimpulan

Dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim bab ini membahas mengenai persoalan-persoalan memilih bidang studi, guru dan kawan belajar. Berkaitan dengan pemilihan bidang studi, az-Zarnuji mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individual untuk mengembangkan keilmuan secara bertahap. Az-Zarnuji melaraskan bahwa ketika melakukan studi, seorang murud diharuskan memilih salah satu di antara semua cabang ilmu yang paling bermanfaat bagi diri sendiri. Lebih lanjut az-Zarnuji mengenai urutan mempelajari ilmu bahwa pertama-tama harus mempelajari ilmu agama selanjutnya baru ilmu-ilmu yang lain.

Mengenai pemilihan guru, ia menetapkan tiga kreteria guru yang harus dipertimbangkan, yakni guru yang paling terpelajar, paling saleh dan paling tua. Dalam pembahasan mengenai pemilihan teman belajar, ia menyarankan agar murid memilih seseorang yang rajin, relijius, berbakat, serta memiliki karakter dan pemahaman yang baik.

Selain itu juga az-zarnuji juga mengingatkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan kepada pemilihan teman yang baik dalam menuntut ilmu dan juga tempat menuntut ilmu. Selain itu az-Zarnuji juga mengutip perkataan Ali bin Abi Tholib:

"Ketahuilah, engkau tidak akan memrih ilmu kecuali dengan enam perkara. Akan kuutarakan semuanya itu kepadamu secara jelas: Kecarcdasan, ketamakan (semangat belajar), kesabaran, memiliki bekal, petunjuk guru, dan waktu yang lama."(Taimiyah ibnu, Tazliyatun nafs, Menyucikan jiwa dan menjernihkan hati dengan akhlak mulia, jakarta : Darus sunah cet.).

Imam Az-zarnuzi dalam kitabnya “Ta’lim Muta’alim” di bab tiga menjelaskan bagaiman cara memilih Pelajaran, Guru dan Teman serta tabah dalam menuntut ilmu. Berkaitan dengan pemilihan mata pelajaran (bidang studi), az-Zarnuji juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan individual untuk mengembangkan keilmuan secara bertahap.

 Daftar Pustaka 

Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, M.A. (Bandung: PIMPIN, cet. II 2011

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010)

Abu Bakar Jabir Al-Zairi (2014), Minhajul Muslim, Jakarta :PustakaArafah

Aufa noor siddiq, Pedoman belajar untuk pelajar dan santri

Al zaunuji syekh, Talim Mutalim ( Surabaya : Al-Hidayah)

Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Depok: Gema Insani Press, 2013)

Ibrahim syekh bin ismail, Syarh Talim Mutalim

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009)

Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: CAPS, 2013)

Taimiyah ibnu, Tazliyatun nafs, Menyucikan jiwa dan menjernihkan hati dengan akhlak mulia, jakarta : Darus sunah cet.

Ad-Dimasqy, Jamluddin Al-Qasimy. (T.th). Mau’idatul Mu’minin, Al-Hidayah, Surabaya.

Al-Abrosy, Athiyah. (1970). Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad (T.th). Ayyuhal Walad, Surabaya: Al-Hidayah.

Ali Yafi, Kitab Kuning Produk Peradaban, Pesantren no. I/vol VI/1989, P3M. Al-Nawawi Muhyidin

Abi Zakariya Yahya Ibnu Syarf. (1984).

Riyadus Sholihin, Pekalongan: Raja Murah. Al Zarnuji, Syekh. (T. th.).Talimul Mutaalim. Surabaya: Al-Hidayah.

Arikunto, Suharsini. (1998). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rinika Cipta. As’ad, Aliy. (T.th). Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Kudus: Menara. Mundir. (2013).

Metode Penelitian Kualitataif dan Kuantitatif. Jember: STAIN Press. Muslim, Abu Hasan Ibnu. (1924). Shohih Muslim, tk: Maktabah al-Misriyah.

Author: Jusmaini.

Posting Komentar untuk "Cara Memilih Ilmu, Guru dan Teman "