Sejarah Penulisan Al-Qur'an
Pengertian Al-Qur'an
Secara bahasa Al-Qur'an diambil dari
kata: وقرانا -قراة -يقرا - ا قر
yang berarti sesuatu yang dibaca. Arti ini mempunyai makna anjuran kepada umat
Islam untuk membaca Alquran. Alquran juga bentuk mashdar dari القراة yang berarti
menghimpun dan mengumpulkan. Dikatakan demikian sebab seolah-olah Alquran
menghimpun beberapa huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun
rapi dan benar. Sedangkan Alquran menurut istilah adalah firman Allah SWT. Yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT. Kepada
Nabi Muhammad SAW, dan yang diterima oleh umat Islam dari generasi ke generasi
tanpa ada perubahan. Oleh karena itu Alquran harus dibaca dengan benar sesuai
sesuai dengan makhraj dan sifat-sifat hurufnya, juga dipahami, diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari dengan tujuan apa yang dialami masyarakat untuk
menghidupkan Alquran baik secara teks, lisan ataupun budaya.[1] Menurut M. Quraish Shihab,
Alquran secara harfiyah berarti bacaan yang sempurna. Ia merupakan suatu nama
pilihan Allah yang tepat, karena tiada suatu bacaanpun sejak manusia mengenal
tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Alquran, bacaan
sempurna lagi mulia.[2] Dan juga Alquran mempunyai arti
menumpulkan dan menghimpun qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan katakata
satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Quran pada
mulanya seperti qira’ah, yaitu mashdar dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan.[3] Menurut Andi
Rosa Alquran merupakan qodim pada makna-makna yang bersifat doktrin dan makna
universalnya saja, juga tetap menilai qodim pada lafalnya. Dengan demikian
Alquran dinyatakan bahwasannya bersifat kalam nafsi berada di Baitul Izzah
(al-sama’ al-duniya), dan itu semuanya bermuatan makna muhkamat yang menjadi
rujukan atau tempat kembalinya ayat-ayat mutasyabihat, sedangkan Alquran
diturunkan ke bumi dan diterima oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir,
merupakan kalam lafdzi yang bermuatan kalam nafsi, karena tidak mengandung ayat
mutasyabihat, tetapi juga ayat atau maknamaknanya bersifat muhkamat.[4] Sementara
menurut para ahli ushul fiqh Alquran secara istilah ialah kalam Allah yang
mengandung mukjizat (sesuatu yang luar biasa yang melemahkan lawan), diturunkan
kepada penutup para Nabi dan Rosul (yaitu Nabi Muhammad SAW), melalui Malaikat
Jibril, tertulis pada mushaf, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
membacanya dinilai ibadah, dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan
surah An-Nas".[5]
Hikmah
Diwahyukannya Al-Qur’an Secara Berangsur-Angsur
Allah berfirman
dalam Q.S. Al-Furqan surah ke-25 ayat 32 yang artinya:“Berkatalah orang-orang yang
kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”;
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara
tartil."[6] Dahulu orang-orang kafir sering
menanyakan banyak hal kepada Rasulullah, tidak lain untuk merendahkan beliau.
Mereka berharap bahwa Rasulullah tidak mampu menjawab apa yang menjadi
pertanyaan mereka. Sampai menyangsikan al-Quran yang tidak turun sekaligus
dalam satu waktu. Mengapa al-Quran tidak diturunkan sekaligus saja, kalau
engkau memang benar-benar Rasulullah?’. Dari sini kemudian Allah membantah
mereka melalui firman-Nya, QS. Al-Furqan/25: 32, bahwa al-Quran tidak turun
sekaligus tidak lain untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW.[7]
Menurut para ulama ulumul quran, proses turunnya al-Quran
melalui tiga tahapan. Dalam kitab al-Burhan fi ulumil Quran juga kitab
Manahilul Irfan fi ulumil Quran menyebutkan tiga tahapan tersebut ialah:
Pertama, turun sekaligus/ idzhar ke lauhul mahfudz. Tahap kedua, turun dari
lauhul mahfudz ke baitul izzah, juga berwujud idzharul quran/ secara utuh.
Tahap ketiga barulah diturunkan kepada Rasulullah dari baitul izzah tidak
secara keseluruhan, tetapi berangsur-angsur dan bertahap selama kurun waktu
sekitar 23 tahun, atau dalam suatu riwayat selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.[8]
Adapun, al-Quran yang turun secara bertahap tersebut
memiliki beberapa hikmah, antara lain: 1).Meneguhkan Rasulullah dalam berjuang
menghadapi orang-orang kafir Quraisy dan siapapun yang menentang dakwah beliau.
2). Sebagai mukjizat. Mengingat banyaknya
tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah SAW, termasuk beragam pertanyaan yang
bernada memojokan. Mereka menanyakan tentang alam ghoib, masalah haid, masalah
hilal/ bulan sabit, hingga urusan ruh, serta hal-hal yang sangat rumit. Maka
dalam QS. Al-Furqan/25 : 33, Allah berfirman yang artinya: Tidaklah orang-orang
kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami
datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. 3). Dalam rangka memelihara ayat-ayat-Nya.
Dengan berangsur-angsur itulah pemahaman terhadap setiap ayat dapat dicerna
dengan baik serta mudah untuk dihafalkan. 4). Memberi solusi hukum. Wahyu al-Quran yang
turun merupakan solusi umat yang diberikan secara bertahap. Contohnya dalam
masalah penghapusan beberapa tradisi Arab seperti minum-minuman keras. 5). Sebagai bukti bahwa al-Quran bukan
rekayasa nabi atau manusia biasa. Akan tetapi benar-benar wahyu dari Allah SWT
yang telah menciptakan segala yang ada di alam raya ini.[9]
Penulisan
Al-Qur’an Pada Masa Nabi
Para penulis wahyu Alquran dari
sahabat-sahabat terkemuka yang diangkat sebagai sekretaris, seperti Ali bin Abi
thalib ra, Muawiyah ra, ‘Ubai bin K’ab ra. dan Zaid bin Tsabit ra. Setiap ada
ayat turun, Nabi memerintahkan mereka untuk menulisnya dan menunjukkan tempat
ayat tersebut dalam surah, bukan hanya pada lempengan tempat menulis harus
tersusun sesuai dengan surah yang ditunjukkan pada Nabi, tetapi juga
disampaikan pada sahabat ayat yang turun itu dalam hapalan sahabat dimasukkan
pada surah yang ditunjuk, jadi ada kecocokan antara hapalan dengan bukti fisik
dari ayat yang tertulis. sehingga penulisan pada lembar itu membantu
penghafalan didalam hati.[10]
Disamping itu sebagian sahabat juga menuliskan Alquran yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Rasulullah saw. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit ra. berkata,”Kami menyusun Alquran dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.” Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka. Selain itu malaikat Jibril as membacakan kembali ayat demi ayat Alquran kepada Rasulullah saw.pada malam-malam bulan Ramadan pada setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas ra. berkata,”Rasulullah adalah orang paling pemurah dan puncak kemurahan pada bulan Ramadan, ketika ia ditemui oleh malaikat Jibril as. Nabi saw.ditemui oleh malaikat Jibril as setiap malam, dimana Jibril membacakan Alquran kepada beliau, dan ketika itu Nabi saw.sangat pemurah sekali.” Para sahabat senantiasa menyodorkan Alquran kepada Rasulullah saw. Baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Alquran pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib ra, Muaz bin Jabal ra, Ubai bin Ka’ab ra, Zaid bin Sabit ra. dan Abdullah bin Mas’ud ra. telah menghafalkan seluruh isi Alquran dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit ra. adalah orang yang terakhir kali membacakan Alquran dihadapan Nabi. Kemudian Rasulullah saw.berpulang ke rahmatullah disaat Alquran telah dihafal oleh ribuan para shahabat dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Tiap ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi memang benar bahwa Alquran belum lagi dijilid dalam satu mushaf yang menyeluruh. Sebab Rasulullah saw.masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasahh (menghapuskan) sesuatubyang turun sebelumnya.[11] Susunan atau tertib penulisan Alquran itu tidak menurut tertib turunnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. Beliau sendiri yang menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andai kata (pada masa Nabi) Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua cover sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasyi berkata, “Alquran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Alquran turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.” Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit ra. yang mengatakan,”Rasulullah telah wafat sedang Alquran belum dikumpulkan sama sekali.”Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.[12]
Al-Katabi berkata,”Rasulullah tidak mengumpulkan Alquran
dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap
sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan
wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap
kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini
tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa
Abu Bakar ra. atas pertimbangan usulan Umar ra.”
Penulisan
Al-Qur’an Pada Masa Khalifaur Rasyidin
Masa Abu Bakar R.A
Pada masa Abu Bakar terjadi perang Yamamah, banyak para
quraa’ dan huffazh yang gugur, atas saran Umar Ibn Khaththab, kemudian Abu
Bakar membentuk panitia kodifikasi Al-Qur’an dengan menunjuk Zaid Ibn Tsabit sebagai
ketuanya. Sebelum panitia kodifikasi mulai bekerja, Abu Bakar berpesan kepada
Zaid, yaitu: catatan yang ada harus sesuai dengan hafalan para sahabat, dan
catatan itu dapat dipastikan atas perintah Rasulullah. Abu Bakar kemudian menyerukan kepada kaum
muslimin agar siapapun yang memegang catatan ayat Al-Qur’an segera
menyrahkannya kepada Zaid untuk diseleksi. Panitia kodifikasi pimpinan Zaid
berhasil menghimpun catatan Al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai media itu,
dalam waktu satu tahun dan disebut dengan Al-Mushaf Al-Syarif . Abu bakar
kemudian menyimpan mushaf itu, dan sebelum meninggal ia serahkan kepada Umar,
setelah Umar meninggal, putrinya, Hafshah yang menyimpan mushaf itu.[13]
Masa Ummar Bin Khattab
Setelah khalifah Abu Bakar wafat, maka digantikan oleh khalifatul mukminin
yaitu Umar bin Khatab. Demikian juga halnya mushaf, yang dahulunya disimpan
oleh Abu Bakar maka setelah Umar menjadi khalifah mushaf tersebut berpindah
tangan ke Umar bin Khatab Pada masa khalifah Umar ini tidak membicarakan
Al-qur’an melainkan lebih memfokuskan pada pengembangan ajaran islm dan wilayah
kekuasaan Islam, serta mengendepankan ajaran Islam. Al-qur’an juga tidak
dipahami secara tekstual saja, tapi lebih jauh lagi dipahami secara
kontekstual.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi penyebaran Al-Quran ke wilayah
yang sudah memeluk agama islam. Penyebaran ini bukan sekedar mengirimkan
lembaran mushaf-mushaf, tetapi disertai pula dengan pengajarannya. Khalifah
Umar mengirimkan sekitar 10 sahabat ke basrah untuk mengajarkan Al-Quran Umar
juga mengirim Mas’ud ke Kufah dengan tujuan sama. Umar sangat menekankan
pentngnya mengajarkan al-quran dengan suhuf yang dibuat sebelumnya.
Suatu ketika ada sahabat yang mengabarkan salah seorang mendiktekan
al-quran kepada masyarakat melalui hafalan di kufah. Mendengar hal itu umar
marah besar namun setelah mengetahui orang yang mendiktekan al-quran itu adalah
Ibnu Mas’ud, umar menjadi tenang. Karena ia teringat akan kemampuan dan
kepandaian ibnu mas’ud. Selain mengirim kedua utusan tersebut,
Umar juga mengirimkan 3 utusan ke Palestina, mereka adalah Mu’adz, Ubadah dan
Abu Darda. Setelah berdakwah dan mengajarkan al-quran di Homs, salah satu dari
mereka diutus melanjutkan perjalanan menuju Damaskus dan tempat lain di
Palestina.
Umar juga mengirimkan beberapa utusan ke negara dan wilayah-wilayah lain
untuk mengajarkan al-Quran. Ketika umar wafat, kekhalifahan dipegang oleh
Utsman bin Affan dan untuk sementara waktu hmpunan al-quran tersebut dirawat
Hafshah binti Umar. Hal ini dikarenakan 2 alasan. Pertama, Hafshah adalah
seorang penghafal al-quran. Dan kedua dia adalah istri Rasul sekaligus putri
Umar.[14]
Masa Utsman Ibn Affan
Pada masa Utsman ibn Affan terjadi
banyak perselisihan tentang pelafalan Al-Qur’an, sehingga Utsman berinisiatif
menggandakan mushaf hasil kodifikasi panitia pimpinan Zaid, untuk kemudian
disebarkan ke semua wilayah Islam. Selain itu Utsman juga membakar semua naskah
yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi Zaid. Usaha Utsman tersebut
berhasil meredam perselisihan tentang pelafalan Al-Qur’an.[15]
Masa Ali Ibn Abu Thalib dan Masa-Masa
Selanjutnya
Pada masa Khalifah Ali, Ali berinisiatif
membubuhkan tanda baca (nuqath I’rab) pada ayat-ayat Al-Qur’an untuk memudahkan
pembacaan, Ali memercayakan urusan itu kepada seorang ahli tata bahasa bernama
Abu al-Aswad al-Du’ali.(Sebagian berpendapat bahwa yang berinisiatif memberi
tanda baca I’rob adalah Muawiyah ibn Abi Sofyan). Sedangkan orang yang pertama
kali membuat tanda titik untuk membedakan huruf-huruf dengan bentuk sama
(nuqathu harf, semisal pada huruf “ba’, ta’ dan tsa’ “) adalah Nashr ibn Ashim
atas usulan Hajaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, salah seorang gubernur dinasti Daulah
Umayyah. Sedangkan tanda syakal diperkenalkan oleh Al-Khalil ibn ahmad
al-Farahidi.[16]Pada masa Al-Makmun upaya mempermudah pembacaan Al-Qur’an terus
dikembangkan, pada masa itulah tanda baca tajwid diciptakan. Tak hanya itu
simbol-simbol yang memperjelas ayat-ayat juga diciptakan. Seperti tanda waqaf
dan nomor ayat, serta identitas di awal setiap surah. Sampai abad ke-16 M,
penulisan Al-Qur’an masih menggunakan tangan sampai kemudian terciptalah mesin
cetak. Dan, pada tahun 1694 M, di Hamburg, untuk pertama kalinya Al-Qur’an
ditulis dengan mesin cetak. Dan seterusnya, penulisan al-Qur’an terus mengalami
perkembangan, pada saat ini banyak kita jumpai al-Qur’an dengan berbagai bentuk
dan model. Ada yang berupa digital hingga yang dilengkapi dengan mesin pencari
surat dan ayat.[17]
Penyempurnaan
Pemeliharaan Al-Qur’an Setelah Masa Khalifah
Walaupun rasulullah SAW secara pribadi tidak pernah
menulis Al Qur’an Karena Nabi SAW tidak pandai membaca dan menulis, tetapi ia
sangat kuat mendorong sahabat-sahabatnya untuk belajar baca-tulis. Setiap kali
Rasulullah SAW menerima wahyu, para penulis itu pun segerta dipanggil untuk
menulis dan mencatatnya disamping sahabat-sahabat yang menghafalnya. Sebelum Rasulullah SAW wafat, Al Qur’an
secara keseluruhan telah selesai penulisannya dengan urutan surah-surah dan
ayat-ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW sendiri. Penulisannya di masa itu
masih menggunakan alat-alat yang sangat sederhana, seperti pelepah-pelepah
kurma, lempengan-lempengan batu dan kepingan-kepingan tulang, sehingga sulit
untuk dihimpun dalam satu kumpulan. Masa Khulafaur Rasyidin diadakan penulisan
ulang Al Qur’an dengan memakai lembaran-lembaran kertas atau suhuf.
Lembaran-lembaran atau suhuf yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur’an itu kemudian
diikat dengan benang sehingga membentuk satu mushaf (kumpulan lembaran).[18] Akan tetapi setelah semakin banyak
orang-orang non-Arab memeluk Islam, timbul kesulitan besar dalam membaca
tulisan Al Qur’an. Kalaupun ada yang bisa membacanya, maka pembacaannya banyak
mengandung kesalahan dan kekeliruan akibat tidak adanya tanda-tanda baca yang
memadai. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan
timbul kekacauan di kalangan umat Islam. Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Qur’an disalin dan
diperbanyak dari mushaf Usmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini
berlangsung sampai abad ke-16, ketika Eropa menemukan mesin cetak dapat
digerakkan (dipisah-pisahkan). Al Qur’an pertama kali dicetak di Hamburg
(Jerman) pada tahun 1694. Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca.
Adanya mesin cetak ini mempermudah umat Islam memperbanyak mushaf Al Qur’an.
Mushaf pertama yang dicetak oleh kalangan imam sendiri ialah mushaf edisi Malay
Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia.
Kemudian sejak tahun 1976 Al Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin (Jerman). Sekarang kita dapat menjumpai berbagai bentuk dan ukuran Al Qur’an dari tulisan yang bentuknya sederhana sampai tulisan yang indah. Dengan demikian, Al Qur’an terjaga dari segala bentuk kekeliruan dan kesalahan, baik disengaja ataupun tidak disengaja.[19]
Rasm
Qur’an
Pengertian Rasm Al-Qur'an
Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, rasma, yang berarti
menggambar atau melukis.[20] Kata rasm ini juga bisa diartikan sebagai
sesuatu yang resmi atau menurut aturan.[21] Jadi Rasm berarti tulisan
atau penulisan yang yang mempunyai metode tertentu. Adapun yang dimaksud Rasm
dalam makala ini adalah pola penulisan Al-Qur’an yang digunakan Usma bin Affan
dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an.
Pendapat Ulama tentang Rasm Al-Qur'an
Kelompok pertama, (Jumhur
Ulama) berpendapat bahwa pola rasm Usmani bersifat tauqifi dengan alasan bahwa
para penulis wahyu adalah sahat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi saw,
dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi
didalam penulisan AL-Qur’an tidak bisa dilihat hanya berdasarkan standar
penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkapsecra
keseluruhan. Pol penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.[22]
Dengan demikian menurut
pendapat ini hokum mengikuti rasn Usmani adalah Wajib, dengan alasan bahwa pola
tersebut merupakan petunjuk Nabi (taufiqi). pola itu harus dipertahankan
meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang telahbdibakukan.
Bahkan imam Ahmad Ibn Hambal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya
menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah
merupakan kesepakatan ulama mayoritas (Jumhur Ulama).
Kelompok Kedua, berpendapat, bahwa pola penulisan di dalam
rasm Usmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya bersifat ijtihad para sahabat.
Tidak ditemukan riwayat Nabi mengenaiketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan
sebuah riwayat yang dikutip oleh Rajab Farjani. Sesungguhnya Rasulullah SAW.
Memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis
penulisannya, dan tidak melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena
itu ada perbedaan model-model penulisan Al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka.
Ada yang menulis suatu lafaz Al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafaz itu, ada yang
menambah atau menguranginya, karena mereka tau itu hanya cara. Karena itu
dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau pola-pola
baru.[23]
Kelompok ini pula berpendapat bahwa tidak ada masalah juka
Al-Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm Imla’i). soal penulisan
diserahkan kepada pembaca, kalau pembaca merasa lebih muda dengan rasm imla’I,
ia dapat menulisnya denga pola tersebut, karena pola penulisan itu symbol
pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna AlQur’an.[24]
Kelompok Ketiga Mengatakan, bahwa penulisan Al-Qur’an
dengan rasm Imla’I dapat dibenarkan, tetapi kusus bagi orang awam. Bagi para
ulama atau yang memahami rasm Usmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm
tersebut.
Pendapat ini diperkuat
al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm Imla’I diperlukan untuk menghindarkan
umat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedang rasm Usmani diperlukan untuk
memelihara keaslihan msuhaf Al-Qur’an.[25] Tampaknya pendapat yang ketiga ini berupaya
mengkompromikan antara dua pendapat terdahulu yang bertentangan. Di satu pihak
mereka ingin melestarikan rasm Usmani, sementara dipihak yang lain mereka
menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan rasm Imla’I untuk
memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan
membaca Al-Qur’an dengan rasm Usmani. Dan pendapat ketiga ini lebih moderat dan
lebih sesuai dengan kondisi umat. Memang tidak tidak ditemukan nash ditemukan nash yang jelas diwajibkan
penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani. Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan
rasm usmani harus di indahkan dalam pengertian menjadikannya sebagia rujuan
yang keberadaannya tidak bole hilang dari masyarakat islam. Sementara jumlah
umat islam dewasa ini cukup besar dan tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan,
tidak sedikit jumlah umat islam yang tidak mampu membaca aksara arab. Mereka
membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar membaca ayat-ayat
Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian, Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus
dipelihara sebagai sandar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga tulisan
ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya imiah, rasm Usmani mutlak diharuskan karena
statusnya suda masuk dalam kategori rujuakn dan penulisannya tidak mempunyai
alasan untuk mengabaikannya.
Dari ketiga pendapat diatas
penulis lebih cenderung menyatakan, bahwa untuk penulisan Al-Qur’an secara utuh
sebagai kitab suci umat Islam, mmesti mengikuti dan berpedoman kepada rasm
usmani, hal ini mengingat pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: a). Agar
umat Islam diseluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam dalam pola
penulisannya, sesuai dengan pedoman aslinya. b). Pola penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani, kalaupun
tidak bersifat taifiqi minimal telah merupakan ijma’ atau kesepakatan para
sahabat Nabi. Ijla’ sahabat memiliki kekuatan hokum tersebut yang wajib
diikuti, termasuk dalam penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani (bila
dimaksutkan sebagai kitab suci secara utuh). c). Pola penulisan Al-Qur’an
berdasarkan rasm Usmani boleh dikatakansebagian besar sesuaidengan
kaidah-kaidah rasm Imla’I dan hanya sebagian kecil saja yang menyalahi atau
beerbedadengan rasm Imla’i.
Kaitan Rasm Al-Qur'an dengan
Qira'at
Jika suatu qiraat bersanad
shahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, namun menyalahi rasm Utsmani maka
qiraat itu disebut qiraat syazzat. Sebab demikianlah pengetian qiraat syazzat
yang dikenal dikalangan para ahli qira’at sekarang.[26]
Selain itu, hubungan rasm dan
qiraat bisa dilihat dari segi pola penyusunannya. Munculnya rasm mengikuti qiraat.
Dan bukan qira’at yang mengikuti rasm. Sebab, kemunculan rasm Utsmani baru pada
periode khalifah Utsman. Keadaan rasm utsmani yang tanpa titik dan syakal
memungkinkan untuk dibaca dengan berbagai qiraat.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, 2010. Mukadimah Al-Qur-an dan Tafsirnya Edisi yang Disempurnakan, (Jakarta: Lentera Abadi).
Prof. Dr. Rosihon
Anwar, 2015. Ulum quran,
(Jakarta:Pustaka Setia).
Anshori, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, (Bandung: Mizan,
1996).
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2015).
Andi Rosa, Tafsir Kontemporer, (Banten: Depdikbud
Banten Press, 2015).
Muhammad Ali al-Subhani, al-Tibyan Fi Ulum Quran, (Bairut: Dar
alIrsyad, 1970).
Tafsir Ringkas Kemenag RI
(QS. Al-Furqan/25: 32).
H.M. Wiharto, S.Sy., S.Pd.,
M.A, Hikmah Al-Qur'an diturunkan secara
Bertahap. (Islamic Center, 2021).
Prof.
Dr. Rosihon Anwar, Ulum
quran, (Jakarta:Pustaka
Setia, 2015).
Al-Shobuni, Syeikh Muhammad Ali, al-Tibyaan fii ‘uluumi al-Qur’an. (Jakarta: Dar al- kutub, 2003).
Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994).
Al-Mu’thi, Fathi Fawzi ‘Abd, Detik-detik Penulisan Wahyu. (Jakarta:
Zaman, 2009).
Ibrahim Al lbyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta:
Raja Gravindo Persada, 1993), hal. 70.
Fathi Fawzi Abd al-Mu’thi, Detik-detik Penulisan Wahyu.
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia,
2001.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ichtiar
Baru van Hoeve, 2002).
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: t.tp. 1954).
Moenawir Khalil, al-Qur’an dari masa kemasa , (Soloh:CV
RAmdani, 1985).
M.Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan ulum Al-Qur’an, (Jakarta
Pustaka Firdaus, 2001).
Muhammaad Rajab Farjani,
Kaifa nata Abbad Ma’a ai-Mushaf (t.tp. Daar al-I’Tisham.1978).
http://sapiterbang.blogsome.com/2006/01/13/sejarah-penulisan-al-quran-siapa-yang-melakukan-mengapa-dan-bagaimana/
(14 April 2015).
[1]
Anshori, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hal. 17-18.
[2]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 3.
[3]
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2015), hal. 15.
[4]
Andi Rosa, Tafsir Kontemporer, (Banten: Depdikbud Banten Press, 2015),
hal. 3.
[5]
Muhammad Ali al-Subhani, al-Tibyan Fi Ulum Quran, (Bairut: Dar alIrsyad,
1970), hal.10.
[6]
QS. Al-furqan/25:32
[7]
Tafsir Ringkas Kemenag RI (QS. Al-Furqan/25: 32).
[8]
H.M. Wiharto, S.Sy., S.Pd., M.A, Hikmah Al-Qur'an diturunkan secara
Bertahap. (Islamic Center, 2021), hal.1
[9]
Ibid, hal.2-3.
[10]
Hadist riwayat al Bukhari dan Muslim.
[11]
Prof. Dr. Rosihon Anwar, Ulum quran,
(Jakarta:Pustaka Setia, 2015), hal. 48-49.
[12]
http://sapiterbang.blogsome.com/2006/01/13/sejarah-penulisan-al-quran-siapa-yang-melakukan-mengapa-dan-bagaimana/
(14 April 2015).
[13]
Al-Shobuni, Syeikh Muhammad Ali, al-Tibyaan fii ‘uluumi al-Qur’an.
(Jakarta: Dar al- kutub, 2003), hal. 40.
[14]
Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 67.
[15]
Al-Mu’thi, Fathi Fawzi Abd,
Detik-detik Penulisan Wahyu. (Jakarta: Zaman, 2009), hal. 95
[16]
Ibrahim Al lbyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Raja
Gravindo Persada, 1993), hal. 70
[17]
Fathi Fawzi Abd al-Mu’thi, Detik-detik Penulisan Wahyu, hal 21-22
[18]
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2001).
[19]
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve,
2002), hal. 137
[20]
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: t.tp. 1954),hal.533
[21]
Moenawir Khalil, al-Qur'an dari masa kemasa, (Soloh:CV RAmdani,
1985),hal. 27-28
[22]
M.Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan ulum Al-Qur’an, (Jakarta Pustaka
Firdaus, 2001), hal. 95
[23]
Muhammaad Rajab Farjani, Kaifa nata Abbad Ma’a ai-Mushaf (t.tp. Daar al-I’Tisham.1978),h.166
[24]
Ibid, hal.166
[25]
M Quraish op.cit hal. 89
[26]
Hasanuddin AF, Perbedaan Qiraat, hal.167
Posting Komentar untuk "Sejarah Penulisan Al-Qur'an"