Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Keguruan Di PTAI

Pendahuluan 

Sejak awal berdirinya, Perguruan Tinggi Agama Islam dirancang sebagai lembaga pendidikan tinggi khusus di bidang studi agama (Islam). Hal ini terlihat dari nama-nama fakultasnya, seperti Tarbiyah, Syari’ah, Ushuludin, Dakwah dan sebagainya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, jurusan umum sudah mulai masuk, khususnya di Fakultas Tarbiyah seperti Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi, Pendidikan Bahasa Inggris dalam keluarga Jurusan Tadris.

Di era reformasi, program integrasi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lancar dilakukan untuk menepis dikotomi ilmu di tubuh PTKI. Mengubah IAIN menjadi umum dengan membuka Fakultas umum yang terintegrasi dengan Fakultas ilmu agama seperti Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Hukum dan Syari’ah dan lain-lain. Mendiskusikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) hari ini sebagai sebuah lembaga pendidikan yang cukup menarik.

Melihat dan menyikapi perkembangan PTAI saat ini tentu ada semacam kebanggaan atau apresiasi. Awalnya, sebagaimana jamak dipersepsikan oleh orang awam, PTAI adalah perguruan tinggi yang kurang berkualitas. Sering dipercakapkan bahwa PTAI adalah Perguruan Tinggi kelas dua. Sudah barang tentu, mahasiswanya pun adalah orang-orang yang berasal dari kalangan dan segmen tertentu. Tapi, saat ini, persepsi seperti itu, sudah harus diralat karena sudah tidak sesuai dengan faktanya.

Sekarang PTAI telah berkembang sedemikian rupa, dalam ukuran tertentu, melampaui harapan. Cukup banyak dari PTAI sekarang ini yang kualitasnya tidak kalah dengan perguruan tinggi lainnya di tanah air.Sisi kualitas ini, sebagaimana disebutkan di atas, berkembang seiring dengan perubahan waktu. Perubahan ini tentu menggembirakan dan membahagiakan kita semua, khususnya umat Islam Indonesia. Pandangan atau persepsi masyarakat, sebagaimana dikemukan di atas, secara perlahan juga mengalami pergeseran. Bahkan beberapa di antaranya PTAI saat ini, menjadi perguruan tinggi favorit yang banyak diminati oleh mahasiswa-mahasiswa baru.

Pembahasan 

Terkait dengan Perguruan Tinggi (PT) khususnya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), Kementerian Agama melalui Ditjen Pendis telah mengeluarkan Kebijakan, Program dan Strategi Pelaksanaan Kegiatan Ditjen Pendidikan Islam Tahun 2010-2014. Lebih lanjut dalam website kemenag.go.id dijelaskan Kementerian Agama RI di tahun 2010-2014 menetapkan 5 kebijakan yaitu: (1) Peningkatan kualitas kehidupan beragama; (2) Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama; (3) Peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan; (4) Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dan; (5) Perwujudan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Untuk menjalankan 5 kebijakan tersebut, dalam rencana pelaksanaannya telah ditetapkan dalam 11 program Kementerian Agama, salah satunya yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pendidikan Islam yaitu Program Pendidikan Islam, khususnya untuk menjalankan kebijakan pada no. 3 di atas. Program Pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan akses, mutu, relevansi dan daya saing serta tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan Pendidikan Islam. Pencapaian tujuan program Pendidikan Islam, lebih khusus pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dilakukan melalui sejumlah kegiatan strategis sebagai berikut:

Pertama; Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Tinggi Islam. Keluaran (output) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah: (a) meningkatnya akses pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), (b) meningkatnya mutu layanan pendidikan PTAI, (c) meningkatnya mutu dan daya saing lulusan PTAI, dan (d) meningkatnya mutu tata kelola PTAI. Keluaran (output) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan dan pengembangan sarana prasarana PTAI, termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal; peningkatan mutu lulusan dan daya saing bertaraf internasional; peningkatan mutu kurikulum dan bahan ajar; peningkatan partisipasi masyarakat dan bantuan luar negeri; pengembangan kemitraan dengan berbagai pihak; pengembangan Ma`had Aly pada PTAI; penataan program studi dan bidang keilmuan yang fleksibel memenuhi kebutuhan pembangunan; penguatan konsorsium ilmu-ilmu keislaman yang memperkuat pengembangan dan pengkajian ilmu-ilmu keislaman di PTAI; serta peningkatan mutu tata kelola PTAI. Kedua; Penyediaan Subsidi Pendidikan Tinggi Islam Bermutu. Keluaran (output) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah tersedia dan tersalurkannya beasiswa, bagi mahasiwa miskin dan mahasiswa berprestasi. Keluaran (output) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan beasiswa bagi mahasiswa miskin dan mahasiswa berprestasi, termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal. Ketiga; Peningkatan Mutu dan Kesejahteraan Pendidik dan Tenaga KependidikanPendidikan Tinggi Islam. Keluaran (output) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah: (a) meningkatnya profesionalisme dosen dan tenaga kependidikan pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dan(b) meningkatnya kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan pada PTAI. Keluaran (output) tersebut dicapai antara lain melalui peningkatan kualifikasi pendidikan dosen dan tenaga kependidikan; penyediaan beasiswa dan bantuan belajar; penyediaan tunjangan fungsional, tunjangan profesi dan tunjangan lainnya.

Kemampuan Guru

Zamroni (2000) mengatakan ―guru adalah kreator proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi pengajaran dalam konteks belajar mengajar diarahkan untuk pengembangan aktivitas siswa dalam belajar. Nasution (1982) mengemukakan kegiatan mengajar diartikan sebagai segenap aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar. Dengan demikian proses dan keberhasilan belajar siswa turut ditentukan oleh peran yang dibawakan guru selama interaksi proses belajar mengajar berlangsung.

Usman (1994) mengemukakan mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa peran guru dalam konteks kurikulum adalah sosok profesi yang bertugas untuk memberikan pemahaman isi kurikulum yang telah dirancang agar siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan secara utuh. Hakikat guru adalah profesi yang memiliki tugas utama memudahkan materi yang dianggap sulit oleh siswa, menyederhanakan persoalan yang dianggap rumit oleh siswa dan menjelaskan informasi yang dianggap belum jelas oleh siswa.

Muchith (2016:228-230) mengemukakan peran guru sangat dominan dalam pembelajaran, konsekuensinya guru harus memiliki kiat atau ketrampilan dalam membangkitkan minat belajar siswa dengan cara yang bervariasi baik metode, pendekatan maupun bentuk pembelajaran. Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka guru harus memiliki berbagai karakteristik sebagai berikut: (1) Guru harus memiliki karakteristik sebagai seorang kakek yang bersedia menjelaskan struktur keturunan atau nasab kepada cucunya. Guru adalah sosok profesi yang mampu menjelaskan struktur keilmuan kepada siswa  memiliki pemahaman keilmuan yang utuh. (2) Guru harus memiliki karakteristik sebagai seorang nenek yang selalu bersedia bercerita kepada cucunya. Guru adalah profesi pendidikan yang harus memiliki kemampuan menceritakan materi kepada siswa sehingga siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan secara utuh (3) Guru harus memiliki karakteristik sebagai seorang bapak yang senantiasa bertanggung jawab atas segala hal yang ada di keluarga. Guru sebagai profesi harus mampu bertindak dan bertanggung jawab atas segala hal yang ada di dalam proses pembelajaran. (4) Guru harus memiliki karakteristik sebagai seorang ibu yang senantiasa memiliki kasih sayang kepada anak anaknya. Guru sebagai profesi harus memiliki kasih sayang kepada siswanya. (5) Guru harus memiliki karakteristik sebagai seorang kakak yang senantiasa membantu kesulitan adiknya. Guru sebagai profesi harus memiliki kemampuan membantu kesulitan yang dimiliki siswanya. (6) Guru harus memiliki karakteristik sebagai seorang kakak ipar yang senantiasa tidak mau ikut campur urusan iparnya jika tidak diminta. Guru sebagai profesi pendidik harus mampu menahan keinginan untuk ikut campur tangan urusan siswanya jika tidak diminta. (7) Guru harus memiliki karakteristik sebagai editor buku yang senantiasa meluruskan atau membenarkan teks atau tulisan orang lain. Guru sebaagi profesi pendidik harus memiliki kemampuan untuk meluruskan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. (8) Guru harus memiliki karakteristik sebagai seorang jenderal yang senantiasa tegas dan berdisplin tinggi. Guru sebagai profesi pendidik harus memiliki kemampuan untuk berjiwa disiplin yang tinggi dan tegas terhadap siswa demi membangun kepribadian dan sikap yang ideal.

Agar terwujud karakteristik tersebut, maka guru harus memiliki 10 ( sepuluh ) kemampuan dasar sebagai berikut: (1) Menguasai bahan. Penguasaan materi bagi guru meliputi bahan pokok dan Pengayaan. Bahan pokok adalah bahan atau buku yang menjadi pedoman dalam pembelajaran. Sedangkan bahan pengayaan adalah bahan yang menjadi pelengkap atau buku lain yang memiliki relevansi dengan materi pokok. (2) Mampu mengelola interaksi pembelajaran yaitu guru harus memiliki kemampuan memberikan pemahaman materi secara utuh kepada siswa. (3) Mampu mengelola program pembelajaran yaitu guru harus memiliki kemampuan menyusun perangkat pembelajaran yang meliputi RPP, AMP dan pengembangan silabus. (4) Mampu mengelola kelas yaitu mampu memberikan motivasi agar siswa memiliki semangat tinggi untuk mempelajari mata pelajaran. (5) Mampu menggunakan media pendidikan. Ada dua macam media dalama pendidikan yaitu alat pembelajaran dan alat peraga. Alat pembelajaran adalah sarana yang dapat digunakan semua mata pelajaran sedangkan alat peraga adalah sarana yang berfungsi khusus untuk mempercepat pemahaman materi pelajaran dalam lingkup satu pokok bahasan tertentu. Oleh sebab itu alat peraga pokok bahasan sholat pasti berbeda dengan alat peraga pokok bahasan wudlu atau tayamum. Alat peraga haji pasti berbeda dengan alat peraga zakat fitrah, dll. (6) Memahami landasan kependidikan, yaitu guru harus memahami benar tentang makna belajar, makna guru dan siswa agar pembelajaran benar benar sesuai dengan harapan. (7) Memahami evaluasi, yaitu guru harus memiliki pemahaman yang tepat tentang evluasi. Bahwa evaluasi tidak hanya untuk mengetahui kualitas pemahaman siswa melainkan juga sebagai saran untuk mengetahui kekurangan guru dalam pembelajaran. (8) Memahami fungsi bimbingan dan layanan (BK) yaitu posisi BK jangan hanya diposisikan sebagai satpam atau polisi sekolah yang hanya mencari dan memberi sanksi terhadap kesalahan siswa. (9) Memahami funsgi administrasi sekolah (10) Menafsirkan hasil penelitian dalam bidang pendidikan. Guru dalam melakukan pembelajaran juga harus mampu menjelaskan hasil hasil penelitian yang ada keterkaitannya dengan pokok bahasan yang dijelaskan.

Menurut Ramayulis (2013;98-99) kompetensi keguruan dalam pendidikan Islam sebenarnya sama dengan kompetensi keguruan pada umumnya. Namun dalam pendidikan Islam semua kompetensi yang dimiliki oleh pendidik (guru) harus in heren dengan keIslaman. Ada beberapa prinsip dalam ajaran agama Islam yang melandasi profesionalitas pendidik (guru):  (1) Ajaran Islam memberikan motivasi bagi pendidik (guru) agar bekerja sesuai dengan keahlian. Suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh orang yang tidak profesional akan mengelami kegagalan. (1) Ajaran Islam menekankan pentingnya keikhlasan dalam bekerja. Sebagaimana Firman Allah SWT

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

 

 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka disisi Tuhan mereka ialah surga, dan yang mengalir di bawahnya sungai mereka kekal di dalamnya selama-lamanya”. (Q.S. Al-Bayyinah:7-8)

Ajaran Islam memberikan motivasi agar selalu berusaha dalam meningkatkan dan mengembangkan profesionalitasnya. Firman Allah SWT:yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah seseuatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S.Al-Ra’d: 11)

Pekerjaan mendidik yang dilakukan oleh guru, salah satu bentuk ubudiyah kepada Allah (ibadah non ritual). Firman Allah: yang artinya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.(Q.S. Al-Dzhariat: 56)

Pembinaan Profesi Guru

Secara etimologi, kata profesi bisa berasal dari kata Profesien, yang  dapat mengandung  arti  pandai, cakap,  piawai.  Selain  itu  profesi juga  dapat  berarti riwayat  pekerjaan,  pekerjaan  tetap,  mata  pencaharian,  dan  pekerjaan  yang merupakan  sumber kehidupan  (Partanto, 1994:  627).  Secara  sederhana  makna profesi  adalah  pekerjaan,  yaitu  suatu  kebiasaan  yang  dilakukan  seseorang sehingga ia  dapat hidup dari hasil keringatnya (Purwanto, 2007:  1). Dalam hal ini, profesi erat kaitannya dengan profit atau pendapatan keuntungan sehingga seseorang dapat hidup dan  membiayai aktifitasnya melalui pekerjaannya. Jadi profesi itu menjadi sumber pendapatan nyata bagi  seseorang. Berdasarkan makna  etimologis,  maka  profesi  dapat  diartikan  sebagai  pekerjaan  yang dilakukan  oleh  orang  yang  ahli  atas  dasar  pengakuan  dari  orang  lain  yang disertai  dengan  bukti  riel  (nyata)  bahwa  orang  yang  melakukan  pekerjaan tersebut  harus  benar-benar  mampu  melaksanakan  pekerjaan  yang  memang sudah  menjadi keahliannya.  Pengakuan  itu bisa  berasal dari  masyarakat  atau pengguna  jasa,  bahkan  dapat  juga  pengakuan  itu  berasal  dari  karya  ilmiah yang dihasilkan  baik yang dilakukan secara konseptual aplikatif maupun kontekstual murni.

Guru dalam perspektif pendidikan Islam dengan kata “murobbi, mu’allim, mudarris, mu’addib, dan mursyid” yang dalam penggunaannya mempunyai tempat tersendiri  sesuai dengan konteksnya dalam pendidikan. Mujib (2006:87) menjelaskan istilah guru sebagai   “Al-Ustadz   dan Asy -Syaikh” .    yang dikutip oleh  Abdul Mujid pengertian istilah guru dalam penggunaannya dengan menitik  beratkan pada tugas prinsip yang harus dilakukan oleh seorang pendidik.   

Berikut beberapa istilah guru yang dikemukakan oleh Mujib (2006) yaitu:

Murobi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya sendiri, masyarakat dan alam sekitarnya (lingkungannya).

Mu’allim  adalah atau yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan menjelaskan dimensi  teoritis  dan praktisnya, sekaligus  melakukan  transfer ilmu pengetahuan, internalisasai, serta implementasinya (amaliah nyata).

Mudarris  adalah  orang  yang  memiliki  kepekaan  intelektual dan  informasi serta  memperbaharui  pengetahuan  maupun  keahliannya  secara berkelanjutan,  dan  berusaha  mencerdaskan  anak  didiknya,  memberantas kebodohan  mereka  serta  melatih  ketrampilan  sesuai  dengan  bakat,  minat dan kemampuannya.

Mu'addib  adalah  orang  yang  mampu  menyiapkan  peserta  didik  untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa kini maupun masa yang akan datang.

Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri  atau  menjadi pusat  anutan, suri  tauladan  dan  konsultan  bagi  peserta didiknya dari semua aspeknya.

Ustadz  adalah  orang  yang  mempunyai  komitmen  dengan  profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil  kerja yang  baik, serta  sikap countinious improvement  (kemajuan yang berkesinambungan) dalam melakukan proses mendidik anak. 

Berdasarkan  beberapa  pengertian  diatas,  maka  guru  dalam  Islam  dapat maknai sebagai orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak  didik  yang  bertugas  untuk  mendidik  dengan  mengupayakan perkembangan  seluruh  potensi  peserta  didik,  baik  potensi  afektif,  potensi kognitif,  maupun  potensi  psikomotorik.      Guru  juga  dapat  diartikan sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam memberi pertolongan pada anak didik agar anak memperoleh alam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai  tingkat  kedewasaan,  mampu  berdiri  sendiri,  mampu  memenuhi tugasnya  sebagai  hamba/khalifah  Allah,  dan  juga  sebagai  makhluk  sosial

Di dalam Alquran, Allah mengingatkan bahwa pekerjaan harus diserahkan kepada yang memiliki keahlian di bidangnya (baca: professional). Ini dimaksudkan untuk menjaga keselarasan kehidupan, optimalisasi dan pencapaian tujuan pekerjaan. Seperti yang diterangkan dalam ayat berikut, yang artinya: “Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya Aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui” (QS. Az-Zumar: 39)

Dalam shahih Tafsir Ibnu Katsir adalah berarti sesuai dengan cara-cara dan metode-metode, dan dikatakan nanti melalui itu akan terlihat hasil atau dampak dari yang telah dikerjakan.

Siswanto (2013:66-67) mengungkapkan dalam menjalankan tugas profesionalnya, sering kali ditemukan persoalan berkenaan dengan kemampuan dan kompetensi guru. Persoalan itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Di samping itu, ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.

Dengan melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk mengembangkan profesi guru. Ada enam asumsi dasar yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yaitu: (1) Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan, dan dapat dikembangkan sesuai dengan potensinya (2) Pendidikan dilaksanakan secara intensional, yakni secara sadar bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik dan pengelola pendidikan. (3) Teori-teori pendidikan merupakan jawaban kerangka hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan. (4) Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh karenanya pendidikan adalah usaha mengembangkan potensi unggul tersebut. (5) Inti pendidikan terjadi dalam proses, yakni situasi di mana terjadi dialog antara perserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik agar selaras dengan nilai-nilai  yang dijunjung tinggi masyarakat. (6) Sering terjadi dilema antara tujuan utama pendidikan yaitu menjadikan manusia sebagai manusia yang baik (dimensi instrinsik) dengan misi instrumental yakni yang merupakan alat untuk perubahan atau mencapai sesuatu.

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi.

Masalah Keguguran di PTAI

Problematika peserta didik

Sebagian besar peserta didik masih beranggapan dan memandang bahwa Pendidikan Agama Islam hanya sebatas formalitas saja. Hanya sebatas disiplin ilmu yang diajarkan untuk mendapatkan standar nilai yang ditentukan. Hanya sebatas ritual dan segi-segi formalitas dalam agama, seolah-olah apa yang disebut agama adalah seperangkat gerakan dan bacaan-bacaan serta doa-doa dalam ritual sembahyang dan ibadah. Dalam agama Islam ritual itu terumuskan dalam rukun Islam. Tentu saja pandangan seperti ini tidak salah secara mutlak tetapi jelas amat tidak memadai untuk menjadi pandangan yang baik, terutama terhadap Pendidikan Agama Islam.Hal ini bukan berarti ritual agama Islam seperti sholat dan lain sebagainya tidak penting. Tetapi perlu disadari tindakan ritual agama seperti solat adalah salah satu wujud nilai aplikatif dari rasa iman, rasa percaya kita terhadap Allah SWT dan juga kerangka bangunan agama Islam.

Dengan demikian ritual agama seperti sholat bukanlah tujuan utama dari agama Islam tetapi bagaimana nilai-nilai dari solat itu teraplikasikan dalam kahidupan sehari-hari, seperti nilai ketundukan terhadap Allah SWT teraplikasi dalam wujud menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Nilai mengagungkannya teraplikasikan dalam sikap rendah hati, tidak sombong, tidak menentangnya, tidak meremehkan orang lain dan lain sebagainya. Nilai berserah diri kepadanya ter aplikasikan dalam sikap sabar, tawakal dan sadar bahwa semua berjalan sesuai kehendaknya. Dan masih banyak lagi nilai-nilai lainnya yang apabila ter aplikasikan dengan baik dalam kehidupan maka akan baiklah kehidupan ini karena sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan oleh sang pencipta kehidupan.

Tindakan ritual dan segi-segi formalitas agama, baru mempunyai makna hakiki jika mampu mengantarkan seseorang kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan kepada sang pencipta sehingga memiliki kesiapan emosional dan spiritual dalam menjalani kehidupannya di dunia dalam mencapai pengalaman transendental. Wujud kedekatan kepada sang pencipta itulah yang akan termanifestasikan dalam berbagai sikap dan prilaku yang terpuji (akhlaqul karimah), sehingga bisa memberi manfaat dan kebaikan terhadap semua.

Dengan demikian agama merupakan keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup dan kehidupan. Tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berakhlak mulia atas dasar percaya atau beriman kepada Tuhan dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian. Pandangan seperti inilah yang harusnya menjadi arah pengajaran agama disekolah. Agar peserta didik paham betul tujuan yang paling utama dari Pendidikan Agama Islam. Dalam kasus keluarga terutama orang tua peserta didik, sekolah bisa mengadakan pertemuan baik setiap minggu ataupun setiap bulan untuk menyamakan visi dalam pendidikan disekolah dan dirumah, agar tercipta keserasian antara pendidikan disekolah dan dirumah terutama dalam Pendidikan Agama Islam.

Problematika pendidik

Para pakar pendidikan di Indonesia menilai bahwa salah satu sebab utama kegagalan pendidikan adalah karena lemahnya kualitas pendidik. Padahal salah satu syarat mutlak keberhasilan pendidikan adalah kualitas pendidik yang baik. Rasulullah adalah suri tauladan dan contoh pendidik yang baik terutama dalam Pendidikan Agama Islam. Karena itu semua pendidik muslim yang terlibat dalam Pendidikan Agama Islam baik sebagai sebuah disiplin ilmu, institusi ataupun jalan hidup haruslah menjadikan Rasulullah sebagai contoh dalam mendidik dan dalam menjalankan kesehariannya sebagai seorang pendidik agama Islam Setidaknya minimal seorang pendidik harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. 

Menurut Mulayasa (2009:4) selain memiliki keempat kompetensi ini seorang pendidik juga harus mengembangkannya agar tidak monoton dalam mendidik para peserta didik. Seperti yang telah disabdakan Rasulullah bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini itulah perinsip setiap pendidik muslim.

Jadi problematika pendidik agama Islam adalah belum meneladani Rasulullah secara totalitas, belum mengamalkan nilai ajaran-ajaran agama secara menyeluruh dimulai dari bangun tidur sampai tertidur lagi, belum mengembangkan potensi dirinya dengan baik. Kesemuanya ini haruslah beriringan tidak bisa apabila ingin menjalankan solusinya satu persatu. Semoga para pendidik agama Islam kita semakin baik dengan terus berusaha mengamalkan ajaran- ajaran agamanya secara maksimal dan mengembangkan potensi dirinya, agar tujuan uama dari Pendidikan Agama Islam sebagai penyempurna akhlak manusia dapat terwujud.

Problematika manajemen

Manajemen yang menaungi Pendidikan Agama Islam pun belum memberikan usahanya yang maksimal. Salah satu keberhasilan sebuah proses adalah karena terkendali dengan baik. Manajemen kurikulum dan pembelajaran belum memberikan ruang yang maksimal untuk Pendidikan Agama Islam. Ini bisa dilihat dari jumlah jam pelajaran yang diberikan untuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam, dalam satu minggu hanya diberi empat jam pelajaran. Memberikan jam lebih untuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam di atas empat jam belummemungkinkan, tetapi seandainya sekolah bisa mengatur lingkungan disekolah sebagai jam aplikasi Pendidikan Agama Islam maka ini bisa membantu kekurangan jam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Dengan membiasakan lingkungan sekolah untuk solat berjamaah misalnya atau melaksanakan kegiatan-kegiatan agama lainnya dalam lingkungan sekolah, ini akan memberikan pengaruh baik terhadap belajar peserta didik tentang Pendidikan Agama Islam.

Kurikulum yang dipakai di sekolah juga belum komperhensif masih terpaku pada teori-teori yang bersifat kognitif dan praktik amalan-amalan keagamaan sebatas ritual saja. Padahal seharusnya kurikulum Pendidikan Agama Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, karena agama bukan hanya sekedar keyakinan dan ritual saja tetapi agama adalah gaya hidup dan jalan hidup yang membentuk akhlak setiap manusia.

Manajemen sarana prasarana juga sangat dibutuhkan dalam membantu terealisasinya Pendidikan Agama Islam. Dimana setiap praktik keagamaan dalam segala bentuk aplikasinya sangat membutuhkan sarana yang memadai. Manajemen keuangan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan Pendidikan Agama Islam, terutama dalam sebuah institusi pendidikan. Diharapkan manajemen keuangan ini bisa membantu dan menopang semua kebutuhan pendidikan yang ada. Tetapi apabila hanya mengandalkan iuran peserta didik ataupun bantuan dana pemerintah maka proses pendidikan akan tersendat.

Alangkah baiknya sebuah institusi pendidikan mengembangkan sektor keuangan melalaui pengembangan unit-unit usaha dan manajemen kewirausahaan pendidikan, agar berjalannya pendidikan bisa berjalan dengan baik, seiring berkembangnya keuangan maka proses pendidikan pun tidak akan terhambat. Gaya komunikasi dalam manajemen pun haruslah sesuai dengan yang dicontohkan oleh suri tauladan para guru yaitu Rasulullah SAW. Bagaimana Rasul selalu menjadikan rekan-rekannya dalam perjuangan dakwah, perjuangan mendidik umat, perjuangan mendidik agama Islam sebagai sahabat. Bukan seperti atasan dan bawahan. Penyampaian pesan dalam manajemen diharapkan dapat memaksimalkan potensi peran-peran yang terlibat dalam kemajuan pendidikan terutama pendidikan.

Problematika dalam manajemen diharapkan bisa mendapatkan solusi yang lebih baik terutama dalam pembentukan lingkungan sekolah dan bekerjasama dengan lingkungan tempat tinggal para pendidik. Karena apabila pendidik hanya dituntut untuk mengembangkan institusi pendidikan saja maka ketercapaian tujuan Pendidikan Agama Islam akan kurang maksimal. Pendidik bukan hanya mendidik peserta didik tetapi juga harus mendidik lingkungannya.

 Kesimpulan

Terkait dengan Perguruan Tinggi (PT) khususnya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), Kementerian Agama melalui Ditjen Pendis telah mengeluarkan Kebijakan, Program dan Strategi Pelaksanaan Kegiatan Ditjen Pendidikan Islam Tahun 2010-2014.  Lebih lanjut dalam website kemenag.go.id dijelaskan Kementerian Agama RI di tahun 2010-2014 menetapkan 5 kebijakan yaitu: (1) Peningkatan kualitas kehidupan beragama; (2) Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama; (3) Peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan;  (4) Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dan; (5) Perwujudan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa. Mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar. Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi.

Daftar Pustaka 

 Ditjen Pendis Kemenag RI, Kebijakan, Program dan Strategi Pelaksanaan Kegiatan Ditjen Pendidikan Islam Tahun 2010-2014, www.pendis.kemenag.go.id.

Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Nasution. (1982). Azaz-Azaz Kurikulum. Bandung: Jemars

Usman, M.U. (1994). Menjadi Guru Professional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muchith  M. Saekan , (2016), GURU PAI YANG PROFESIONAL, QUALITY Vol. 4, No. 2, 2016.

Ramayulis, (2013).  Profesi & Etika Keguruan, Jakarta: Kalam Mulia

Mujib, A. (2006).  Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.

 Partanto, P. A. (1994). Kamus ilmiah populer, Surabaya: Arkola.

Purwanto, Y. (2007).  Etika  Profesi: Psikologi  Profetik Perspektif Psikologi Islami, Bandung: Refika Aditama.

Siswanto, (2013), Etika Profesi Guru Pendidikan Agama Islam, (Surabaya: CV Salsabila Putra Pratama)

Tim Ahli Tafsir, (2011). Shahih Tafsir Ibn Katsir (Jakarta: Pustaka Ibn Katsir, jilid 7, cet-4)

Mulyasa, (2009), Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Rosada, Bandung.

Posting Komentar untuk "Pendidikan Keguruan Di PTAI "