Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ilmu dalam Tinjauan Filsafat

Hakikat Ilmu 

Hakikat dapat dipahami sebagai intisari, bisa pula berupa sifat – sifat umum dari sesuatu. Bisa juga dipahami sebagai diri pribadi atau jati diri sesuatu. Dalam bahasa Inggris, sering kita dapati istilah-istilah seperti ‘subtance’ atau ‘essence’ yang keduanya menunjuk sesuatu “essential nature atau ultimate nature of a thing”. Jadi, bisa dipahami sebagai inti dasar atau inti tertinggi sesuatu. A.R. Lacey (dalam A dictionary of Philosophy:1976) menjelaskan bahwa ada dua jenis esensi yaitu : "Esensi nomina / nominal essence" (adalah sekelompok istilah yang digunakan untuk mendefinisikan konsep) dan "esensi nyata / real essence" (adalah sekelompok konsep unversal yang diberikan secara objektif adalah sifat yang terlepas dari definisi kita).(Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: AR-RUZ Media, 2005), h. 107).

Lacey mengacu kepada Aristoteles yang membedakan subtansi hakikat ke dalam dua hal, yaitu: ‘primary subtance’ dan ‘secondary subtance’. Subtansi primer adalah inti atau diri pribadi sesuatu, sedangkan substansi sekunder adalah aksidensia, sifat-sifat yang baik secara mutlak ataupun relatif melekat pada diri-pribadi sesuatu. Misal ‘dia adalah seorang manusia bernama Socrates’, maka manusia adalah substansi primer dan nama socrates adalah substansi sekunder.

Aristoteles yang terkenal sebagai bapak metafisika yang menyatakan bahwa setiap ‘yang ada’ berada dalam suatu cara. Kiranya dapat dipahami bahwa ‘hakikat’ adalah keseluruhan unsur yang secara mutlak bersama-sama menentukan adanya sesuatu barang atau hal sebagaimana diri-pribadinya-sendiri, bukan sesuatu barang atau hal yang lain. (Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebah Apresiasi terhadap Ilmu, Agama dan Seni, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2015), h. 246). Jadi pada dasarnya, masalah ‘hakikat’ dapat dikategorikan menjadi tiga hal, yaitu hakikat jenis (bersifat abstrak), hakikat pribadi (bersifat potensial) dan hakikat individual (bersifat konkret). Oleh karena ilmu pengetahuan tergolong sebagai hal ada, maka ketiga jenis hakikat itu dijadikan landasan pembahasan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Klasifikasi dan sistematika pembahasannya berturut-turut mengenai ‘hakikat jenis’ ilmu pengetahuan, ‘hakikat pribadi’ ilmu pengetahuan dan ‘hakikat individual’ ilmu pengetahun. Pada umumnya, karena bersifat abstrak, maka hakikat jenis ilmu pengetahuan masuk dalam pembahasan aspek ontologi, karena sifat potensialnya, maka hakikat pribadi ilmu pengetahuan pembahasannya masuk dalam aspek epistimologi dan karena konkret, maka hakikat individual ilmu pengetahuan dibahas dalam aspek etika.(Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, h. 111).

Aspek Ontologi: Hakikat Jenis Ilmu Pengetahuan

Pembahasan tentang hakikat jenis ilmu pengetahuan berarti membahas ilmu pengetahuan secara ontologis. Persoalannya adalah sejauh mana fakta perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan ini merupakan kesungguhan (actus) atau kemungkinan (potency), dalam arti seharusnya ilmu pengetahuan itu memang pluralistik atau monistik.

Secara ontologis, artinya secara metafis umum, objek materi yang dipelajari di dalam pluralitas ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada tingkat yang paling abstrak. Seluruh objek materi pluralitas ilmu pengetahuan, seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan zat kebendaan berada pada tingkat abstrak tertinggi, yaitu dalam kesatuan dan kesamaannya sebagai makhluk. Kenyataan itu mendasari dan menentukan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pluralitas ilmu pengetahuan berhakikat satu, yaitu dalam kesatuan objek materinya. Kesatuan Ilmu pengetahuan tersebut menjadi semakin jelas jika ditinjau dari sumber asal seluru perbedaa objek materi itu. Semua makhluk, sebagai objek materi pluralitas ilmu pengetahuan, secara sistematis berhubungan dengan proses kausalistik. Contoh, keberadaan manusia didahului dengan keberadaan binatang, keberadaan binatang didahului keberadaan tumbuh-tumbuhan.

Disamping objek materi, keberadaan ilmu pengetahuan juga lebih ditentukan oleh objek forma. Objek yang dipahami sebagai sudut atau titik pandang yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi. Berdasarkan ruang lingkup studi inilah selanjutnya Ilmu pengetahuan berkembang menjadi plural, berbeda-beda dan cenderung saling terpisah antara satu dengan yang lain.(Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, h. 113)


Aspek Epistimologi: Hakikat Pribadi Ilmu Pengetahuan

Epistimologi yang berarti teori tentang pengetahuan, yakni suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolak, ukur keabsahan, validitas, kebenaran ilmu, ma’rifat dan pengetahuan manusia. Manusia memperoleh ilmu pengetahuan melalui epistimologi ini.(Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu: Edisi Revisi, (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2017), h. 90).

Dalam epistimologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi objek, metode, sistem dan tingkat kebenaran yang berbeda-beda. Perbedaan yang berkembang tentang sudut pandang dan metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme.

Cara pandang empirisme identik dengan teori korespondensi tentang kebenaran sedangkan rasionalisme identik dengan teori koherensi. Dengan kata lain, epistimologi merupakan suatu bidang filsafat nilai yang mempersoalkan tentang hakikat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan tentang kebenaran.

Sedangkan kebenaran ilmiah itu sendiri sadalah uatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Adapun kebenaran yang pasti adalah mengenai suatu objek materi, yang diperoleh menurut objek forma, metode dan sistem tertentu.(Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, h. 82).  Dimana kebenaran ilmiah terbagi menjadi tiga kategori yaitu: Teori Korespondensi (sesuai dengan fakta), Teori Konsistensi (diakui kebenarannya) dan Teori Pragmatis (Sesuatu yang benar dapat bermanfaat).(Hamdani, Filsafat Sains, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), h. 114). Berkenaan dengan pembahasan yang lebih mendalam akan dijelaskan oleh pemateri berikutnya.


Aspek Etika: Hakikat Individual Ilmu Pengetahuan

Etika berasal dari Bahasa Yunani ‘ethikos’, atau ‘ethos’ yang berarti adat atau kebiasaan yang selanjutnya berkembang menjadi ekuivalen dengan moralitas. Kedua istilah tersebut, tersirat hubungan dengan kegiatan praktis yaitu perilaku. Etika sering diartikan dengan filsafat moral atau ‘filsafat tingkah laku’.

Tradisi filsafat membagi etika ke dalam etika normatif dan metaetika. Normatif mempersoalkan pengukuran perbuatan baik dan benar berdasar norma-norma konvensional sebagai petunjuk atau penuntun perilaku. Sedangkan etika Metaetika cenderung bersifat filosofis, pengukuran perbuatan baik dan benar berdasar pada analisis kritis logis.

Berangkat dari pembidangan filsafat atas etika normative dan metaetika diatas, maka etika mempersoalkan tingkah laku dalam standar ganda, yaitu menurut norma yang sedang berlaku dan menurut tujuan yang daoat diterima oleh akal. Persoalan pokok etika dapat dirumuskan ‘bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku, apa yang menjadi dasar dan tujuan perilaku dan tanggung jawab atas apa yang dapat diberikan sehingga perilaku bernilai guna bagi kehidupan.

Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, kebenaran ilmiah dengan nilai kemanfaatannya harus menjadi tolak ukur perilaku. Suatu perilaku mengandung nilai baik apabila mengandung kebenaran ilmiah dan bermanfaat bagi pencapaian tujuan kehidupan manusia dan masyarakatnya.

Ilmu pengetahuan dikembangkan menjadi plural dalam kuantitas dan kualitasnya yang semata-mata diperuntukkan demi ‘kelangsungan’ dan ‘kemajuan’ hidup dan kehidupan. Plusralitas ilmu pengetahuan secara epitimologi bersubstansi kebenaran ilmiah dan secara ontologis bersubstansi kebenaran universal. Berdasarkan epistimologi kebenaran ilmiah, ilmu pengetahuan dipertanggungjawabkan dalam perilaku untuk kemanfaatan bagi kecukupan kebutuhan makhluk hidup seluruh manusia, bahkan semua makhluk.

Sedangkan berdasar pada kebenaran universal ontologis, ilmu pengetahuan dipertanggungjawabkan dalam perilaku untuk menjaga kelestarian alam secara ekologis, agar kelangsungan kehidupan mendapat jaminan dan jalan menuju tujuan kehidupan terbuka lebar.

Keutamaan Ilmu

Ilmu dalam Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Beberapa keterangan dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi SAW menunjukkan hal tersebut. Oleh karenanya, kedudukan manusia sangat tinggi di hadapan Allah SWT karena ilmu. Ilmu menduduki posisi sentral dalam agama Islam. Telah banyak dalil baik naqliy maupun ‘aqliy yang menjabarkan tentang keutamaan ilmu & pentingnya mencari ilmu. Salah satunya adalah firman Allah SWT dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11:

Artinya : "Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat di atas telah dinyatakan bahwa orang-orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT. KH Hasyim Asy’ari menjelaskan, bahwa orang-orang yang akan ditinggikan derajatnya sebagaimana ayat di atas adalah mereka yang menuntut ilmu sembari mengamalkan ilmu yang dimilikinya. (Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Kompas, cet. ketiga 2013) hal. 200). Sejalan dengan ayat di atas Rasulullah SAW juga pernah bersabda:“Keutamaan orang yang berilmu atas orang yang suka beribadah adalah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang. Karena sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan nabi tidak mewariskan dinar (uang emas) maupun dirham (uang perak), akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambil ilmu tersebut, sungguh ia telah mendapatkan keuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Sayyiduna ‘Ali pernah didatangi beberapa orang dan menanyakan manakah yang lebih mulia, ilmu atau harta. Beliau menjawab bahwa ilmu lebih mulia. Beliau kemudian berkata,”Ilmu menjagamu, sedangkan harta kamu yang harus menjaganya. Ilmu akan bertambah apabila kamu berikan, sedangkan harta berkurang. Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta warisan Fir’aun dan Qarun. Ilmu menjadikan kamu bersatu, sedangkan harta bisa membuat kamu berpecah-belah...” dan seterusnya.(Adian Husaini, Ilmu dan Manusia Beradab dalam Adian Husaini (ed.), dkk, Islamic Worldview Bahan-Bahan Kuliah di Program Doktor Pendidikan Islam Pascasarjana UIKA, (2009) hal. 1 )Lebih dari itu, pada awal penciptaannya manusia sudah menempati kedudukan yang mulia di sisi Allah, sebagaimana yang terjadi dengan bapak seluruh manusia, yaitu Nabi Adam as, dimana para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya.(QS Al-Baqarah (2): 31) Hal ini dikarenakan bahwa manusia—dalam hal ini Adam as—dikaruniai oleh Allah SWT potensi-potensi serta perangkat untuk mengetahui ilmu. Hal ini dilukiskan pada Surat Al-Baqarah (2) ayat 31-32 Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!"

Pada ayat di atas, terlihat bahwa Allah SWT yang mengajari Adam as tentang nama-nama benda, kemudian Allah SWT menunjukkannya kepada para malaikat. Allah memamerkan sebaik-baik ciptaan-Nya tersebut kepada malaikat, sembari menantang mereka (malaikat) untuk menyebutkan nama-nama benda tersebut.(Ibid. hal. 178) tersebut adalah karena para malaikat disinyalir sempat mengajukan “keberatan” atas ditunjuknya Adam as sebagai khalifah di muka bumi.(Al-Baqarah (2): 30) Menanggapi hal itu, malaikat menjawab: Mereka (malaikat) menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."(Al-Baqarah (2): 32) Dari sini, terlihat bahwa manusia (Adam as) lebih utama & mulia dari para malaikat. Dan mereka (malaikat) tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit. Maka, bisa disimpulkan bahwa manusia lebih utama dan mulia dari sekalian makhluk karena dianugerahi potensi-potensi keilmuan, sedangkan makhluk yang lain tidak. Maka, benarlah pepatah Arab yang menyatakan bahwa kalau bukan karena ilmu, niscaya manusia akan seperti binatang.(Luqman Hakim Arifin, dkk, Kumpulan Kata Mutiara dan falsafah Hidup, terj. Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: TUROS, 2013) hal. 154).

Tingginya kedudukan ilmu dalam Islam adalah karena ilmu merupakan syarat untuk benarnya perkataan dan perbuatan. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Bukhari, bahwa keduanya (perkataan & perbuatan, pen.) bisa benar hanya dengan ilmu. Maka ilmu lebih diutamakan dari keduanya. Karena ilmu adalah pembenar bagi niat yang benar untuk amal. (Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam dalam Adian Husaini (ed.), dkk, Islamic Worldview Bahan-Bahan Kuliah di Program Doktor Pendidikan Islam Pascasarjana UIKA, (2009) tanpa hal.). senada juga dinyatakan oleh Murtadla al-Zabidi (w. 1205/1790),

“... Sesungguhnya adalah fardlu atas manusia supaya ber-iman. Sebabnya, iman itu hakikatnya terdiri dari rangkuman ilmu (yang tertentu) dan amal (yang tertentu); justru tidaklah tergambar akan wujud iman melainkan dengan ilmu dan amal. Kemudian dari (wajibnya meyakini rukun Iman) itu, mengamalkan cara hidup (shari’ah) Islam adalah kewajiban atas setiap Muslim, dan tidak mungkin menunaikannya melainkan sesudah mencapai (ilmu) makrifah dan pengetahuan mengenai shari’ah tersebut. Allah mengeluarkan para hamba-Nya dari perut ibu mereka dengan sifat tidak mengetahui apa-apa [al-Nahl, 16: 78]. Oleh sebab itu, menuntut ilmu adalah fardu atas tiap-tiap Muslim. Tidak bisa mengabdikan diri kepada Allah—sedangkan ibadah itu haq Allah atas sekalian hamba-Nya—kecuali dengan ilmu, dan tidak mungkin mencapai ilmu melainkan dengan menuntutnya (walau darimana sekalipun)?(Ibid. tanpa hal.) Sehingga benarlah jika Rasulullah SAW jauh hari telah mewajibkan umat Islam untuk mencari ilmu pengetahuan.

 

Aceng Rahmat, dkk. Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2015)

Adian Husaini, Ilmu dan Manusia Beradab dalam Adian Husaini (ed.), dkk, Islamic Worldview Bahan-Bahan Kuliah di Program Doktor Pendidikan Islam Pascasarjana UIKA, (2009)

Hamdani, Filsafat Sains, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011)

Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, h. 82

Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Apresiasi Terhadap Ilmu, Agama dan Seni, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2015)

Mukhtar Luthfi, Filsafat Ilmu: Orientasi Ke Arah Pemahaman:, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014).

Luqman Hakim Arifin, dkk, Kumpulan Kata Mutiara dan falsafah Hidup, terj. Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: TUROS, 2013)

Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu: Edisi Revisi, (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2017), h. 90

Zulkifli & Sentot Budi Santoso, Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), (Solo: CV Mutiara Kertas, 20..) hal. 82 .

Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Kompas, cet. ketiga 2013) hal. 200

Disusun Oleh: M.Ramzaany Satendra/ MPI SMT 1, TA. 2022-2023



Posting Komentar untuk "Ilmu dalam Tinjauan Filsafat "