Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HAKIKAT ILMU, HUKUM MENCARI ILMU DAN KEUTAMAANNYA

HAKIKAT ILMU 

Definisi hakikat ilmu terdiri dari dua kata yang berbeda. Masing-masing memiliki makna kata yang berbeda. Kata hakekat secara etimologis berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti tersebut tetap lestari. Contoh, dalam Filsafat Yunani terdapat nama Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalanya. Semua hal meskipun mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu yaitu air. Hakikat dapat juga dipahami sebagai inti-sari, bisa pula berupa sifat-sifat umum dari pada sesuatu tertentu.

Adapun kata ilmu (science) diartikan sebagai pengetahuan yang didapat secara ilmiah, atau bisa di sebutkan bagian dari pengetahuan.  Jadi, makna kata hakekat ilmu dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendasari atau yang menjadi dasar dari arti atau makna dari ilmu tersebut. Hakekat Ilmu dapat juga diartikan inti-sari dari ilmu tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang pengertian ilmu, dibawah ini akan kemukakan oleh beberapa ahli filsafat ilmu.

Moh. Nazir, Ph.D (1983:9) mengemukakan bahwa ilmu tidak lain dari suatu pengetahuan, baik natura atau pun sosial, yang sudah terorganisir serta tersusun secara sistematik menurut kaidah umum. Sedangkan Ahmad Tafsir (1992:15) memberikan batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan mempunyai bukti empiris. Sementara itu, Sikun Pribadi (1972:1-2) merumuskan pengertian ilmu secara lebih rinci (ia menyebutnya ilmu pengetahuan), bahwa:

Obyek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara seperti observasi, eksperimen, survey, studi kasus, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian ditentukan relasi antara data-data, diantaranya relasi kausalitas. Konsepsi-konsepsi dan relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang terintegratif. Keseluruhan integratif itu kita sebut ilmu pengetahuan.” Di lain pihak, Lorens Bagus (1996:307-308) mengemukakan bahwa ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (atau alam obyek) yang sama dan saling keterkaitan secara logis.

Dari beberapa pengertian ilmu di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pada prinsipnya ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan atau fakta yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survai, studi kasus dan lain-lain)

Syarat-Syarat Ilmu

Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi persyaratan-persyaratan, sebagai berikut: Pertama; Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan dengan alam (kosmologi) maupun tentang manusia (Biopsikososial). Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti. Lorens Bagus (1996) menjelaskan bahwa dalam teori skolastik terdapat pembedaan antara obyek material dan obyek formal. Obyek formal merupakan obyek konkret yang disimak ilmu. Sedang obyek formal merupakan aspek khusus atau sudut pandang terhadap ilmu. Yang mencirikan setiap ilmu adalah obyek formalnya. Sementara obyek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.

Kedua; Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode ilmiah. Dalam hal ini, Moh. Nazir, (1983:43) mengungkapkan bahwa metode ilmiah boleh dikatakan merupakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Almack (1939) mengatakan bahwa metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesutu interrelasi. Selanjutnya pada bagian lain Moh. Nazir mengemukakan beberapa kriteria metode ilmiah dalam perspektif penelitian kuantitatif, diantaranya: (a) berdasarkan fakta, (b) bebas dari prasangka, (c) menggunakan prinsip-prinsip analisa, (d) menggunakan hipotesa, (e) menggunakan ukuran obyektif dan menggunakan teknik kuantifikasi. Belakangan ini berkembang pula metode ilmiah dengan pendekatan kualitatif. Nasution (1996:9-12) mengemukakan ciri-ciri metode ilimiah dalam penelitian kualitatif, diantaranya :

(a) sumber data ialah situasi yang wajar atau natural setting,

(b) peneliti sebagai instrumen penelitian,

(c) sangat deskriptif,

(d) mementingkan proses maupun produk,

(e) mencari makna,

(f) mengutamakan data langsung,

(g) triangulasi,

(h) menonjolkan rincian kontekstual,

(i) subyek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti,

(j) mengutamakan perspektif emic,

(k) verifikasi,

(l) sampling yang purposif,

(m) menggunakan audit trail,

(n)partisipatipatif tanpa mengganggu,

(o) mengadakan analisis sejak awal penelitian,

(p) disain penelitian tampil dalam proses penelitian.


Permasalahan(subject matter atau focus of interest). ilmu mensyaratkan adanya pokok permasalahan yang akan dikaji. Mengenai focus of interest ini Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad menjelaskan bahwa ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka masalah masalah yang sederhana tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi (Husein Al-Kaff, Filsafat Ilmu,)

Karakteristik Ilmu

Di samping memiliki syarat-syarat tertentu, ilmu memiliki pula karakteristik atau sifat yang menjadi ciri hakiki ilmu. Randall dan Buchler mengemukakan beberapa ciri umum ilmu, yaitu : (1) Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama, (2) Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan, (3) Obyektif tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi. Pendapat senada diajukan oleh Ralph Ross dan Enerst Van den Haag bahwa ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum, dan akumulatif (Uyoh Sadulloh,1994:44).

Dari apa yang dikemukakan oleh Lorens Bagus (1996:307-308) tentang pengertian ilmu dapat didentifikasi bahwa salah satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak kontradiksi dengan kenyataan. Sedangkan berkenaan dengan metode pengembangan ilmu, ilmu memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan akurat. Artinya, usaha untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang memiliki keterandalan dan keabsahan yang tinggi, serta penarikan kesimpulan yang memiliki akurasi dengan tingkat siginifikansi yang tinggi pula. Bahkan dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut :  (1) obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada emosional subyektif,  (2) koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan;  (c) reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi, (d) valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun eksternal,  (e) memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum,  (f) akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi, dan (g) dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

Hukum Menuntut Ilmu

Perintah menuntut ilmu bagi seorang muslim, sudah secara gamblang dijelaskan dalam Al Quran dan hadits. Hukumnya wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadits yang artinya: "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim, dan siapa yang menanamkan ilmu kepada yang tidak layak seperti yang meletakkan kalung permata, mutiara, dan emas di sekitar leher hewan." (HR Ibnu Majah). Hukum menuntut ilmu ada 2 yaitu: (1) Fardu kifayah Hukum fardu kifayah berlaku bagi ilmu yang harus ada di kalangan umat Islam, agar tidak hanya kaum di luar Islam yang menguasai ilmu tersebut. Misalnya ilmu kedokteran, perindustrian, ilmu falaq, ilmu komunikasi, ilmu bahasa, ilmu komputer, ilmu nuklir, dan lainnya. (2) Fardu ‘Ain Hukum fardhu `ain berlaku jika ilmu yang dimaksud tidak boleh ditinggalkan oleh umat Islam dalam segala situasi dan kondisi. Misalnya ilmu agama Islam, ilmu mengenal Allah Subhanahu wata’ala dengan segala sifat-Nya, ilmu tata cara beribadah, dan yang terkait dengan kewajiban sebagai muslim.

Keutamaan Orang Yang Menuntut Ilmu

Keutamaan Orang yang Menuntut Ilmu Pelajar atau orang yang sedang menuntut ilmu, juga guru atau orang yang sedang mengajarkan ilmu, memiliki keutamaan khusus. Mereka ini derajatnya diangkat di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Keutamaan bagi golongan ini adalah sebagai berikut:  (1) Diberi derajat yang lebih tinggi. Dalilnya: “Dan Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al- Mujadillah/58:11). (2) Diberikan pahala yang besar di hari kiamat nanti Dalilnya: Dari Anas bin Malik ra. Rasulullah saw. bersabda, “Penuntut ilmu adalah penuntut rahmat, dan penuntut ilmu adalah pilar Islam dan akan diberikan pahalanya bersama para nabi.” (H.R. ad-Dailami). (3) Merupakan sedekah yang paling utama Dalilnya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sedekah yang paling utama adalah jika seorang muslim mempelajari ilmu dan mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim.” (H.R. Ibnu Majah). (4) Lebih utama daripada seorang ahli ibadah Dalilnya: Dari Ali bin Abi Talib ra. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang alim yang dapat mengambil manfaat dari ilmunya, lebih baik dari seribu orang ahli ibadah.” (H.R. ad-Dailami). Lebih utama dari sholat seribu raka’at Dalilnya: Dari Abu Zarr, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Aba Zarr, kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah telah baik bagimu daripada śalat (sunnah) seratus rakaat, dan pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik daripada śalat seribu rakaat.” (H.R. Ibnu Majah).  (5) Diberikan pahala seperti pahala orang yang sedang berjihad di jalan Allah Dalilnya: Dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah saw. bersabda, “Bepergian ketika pagi dan sore guna menuntut ilmu adalah lebih utama daripada berjihad fi sabilillah.” (H.R. ad-Dailami). Mendapat naungan malaikat pembawa rahmat dan dimudahkan menuju surga Dalilnya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah sekumpulan orang yang berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah (masjid) Allah‘Azza wa Jalla, mereka mempelajari kitab Allah dan mengkaji di antara mereka, melainkan malaikat mengelilingi dan menyelubungi mereka dengan rahmat, dan Allah menyebut mereka di antara orang-orang yang ada di sisi-Nya. Dan tidaklah seorang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu melainkan Allah memudahkan jalan baginya menuju surga,” (HR. Muslim dan Ahmad). Dalil kewajiban seorang muslim menuntut ilmu, sehingga tidak semua wajib berjihad, ada pada surah at-Taubah (9:122) yang artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjagadirinya”.

Daftar Pustaka


Achmad Sanusi,.(1998 ), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung :PPS-IKIP Bandung.

Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.

Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.

Filsafat_Ilmu, members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.

Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.

Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.

Mantiq, media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.

Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988 ), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani.



Author/ Raziqin Nadzhir/MPI SMT I/ TA. 2022/2023

 

Posting Komentar untuk "HAKIKAT ILMU, HUKUM MENCARI ILMU DAN KEUTAMAANNYA"